Rabu, 18 Oktober 2017

A.M. Diary - 3 in 1 episode

Aku tak ingat sudah berapa lama mendekam di RS. Sungguh membosankan, setiap hari menghirup aroma alkohol. Tentu saja, aku dimarahi habis-habisan oleh dokter yang mengurusku karena bandel terlambat check up. Tapi, beruntungnya aku karena selamat dari kecelakaan pesawat kemarin. Setidaknya, namaku tidak ikut tercantum dari daftar 17 orang yang meninggal. Dari 87 penumpang, 17 meninggal, 53 luka parah, sisanya luka ringan. Dan aku termasuk ke dalam kelompok 53 orang itu.

Bisa dibilang lukaku cukup parah. Luka bakar, luka sobek di tangan karena pecahan kaca, tulang kakiku retak, juga luka sayatan di wajahku. Yah, rupaku memang menjijikan, tapi jauh lebih baik ketimbang harus merelakan nyawaku melayang. Minimal, aku berjuang demi rupaku yang meski sekarang sudah tidak karuan.

Ini sudah dua minggu aku dipantau oleh sang dokter bawel. Ya, meskipun dia bawel, kuakui dia sangat baik. Meski sudah separuh baya, wajahnya masih terbilang awet muda. Kondisi jantungku tak perlu ditanya lagi. Semakin parah. Dokterku bilang, saat aku dibawa ke RS, detak jantungku sudah di bawah 40/menit. Dan selama perjalanan, tentu saja hampir semua orang mengkhawatirkanku. Tapi, ada satu orang yang tidak khawatir sama sekali. Maureen. Yang bahkan mengetahui keberadaanku pun tidak.

Setiap kali aku bosan, aku hanya diperbolehkan berjalan-jalan di taman rumah sakit, seperti saat ini. Sungguh, aku merasa sehat-sehat saja. Meski masih harus memakai kruk untuk berjalan, tapi rasanya semua masih di bawah kendali. Bahkan, jantungku sudah membaik. Rasanya aku ingin cepat-cepat terbang kembali ke Indonesia, dan menemui Maureen lagi. Memeluknya lagi.

"Alex." Suara yang sering kudengar akhir-akhir ini, terdengar di telingaku. "Oh, there you are," ucapnya lega sambil melangkah mendekatiku.
"What are you doing here?" tanyaku datar. Jujur, sekarang ini aku sedang tidak mood untuk melakukan serangkaian tes atau apapun sejenisnya.

"Hey, I just want to say that someone is looking for you."
"Who is that, someone is looking for me"? tanyaku lagi. Mood-ku saat ini benar-benar buruk, dan aku benar-benar tak ingin diganggu.
"Maybe, it's better if you look her by yourself," ucap dokter bawelku dan berlalu meninggalkanku. Aku menghela napas. Dasar dokter menyebalkan, sudah tahu kalau aku sekarang susah berjalan. Sekarang malah menyuruhku menemui seseorang yang tak jelas siapa.

Dengan malas, aku mengapit kruk-ku dan berjalan ke lobby. Mataku terbelalak melihat siapa orang yang dimaksud dokter. Kania? Donny?

•••

Ini sudah seminggu sejak aku keluar dari rumah sakit. Senang rasanya, apalagi ibu rela cuti kerja dan pulang dari luar kota untuk menemaniku selama dua minggu.

Meski sudah bisa keluar dari rumah sakit, aku masih perlu beberapa kali check up untuk memantau kondisi ginjal baruku. Tapi, hari ini pula masa cuti ibu selesai dan harus terbang kembali ke Kalimantan. Siang ini, aku dan Aldi mengantar ibuku ke bandara Hussein.

Pesawat akan take off pukul 13.45, jadi kami sudah di bandara sejak pukul 12.00, sekalian makan siang bersama. Setidaknya, aku tidak menyia-nyiakan sedetik pun waktuku bersama ibu. Pukul 13.30, kami sudah selesai makan dan menunggu pintu pesawat dibuka.

"Bu, janji yaa bakal sering-sering pulang," pintaku sambil memeluknya.
"Ibu usahain ya, Rin. Doa ibu selalu bersama Maureen kok," jawab ibu seraya mengelus rambutku yang makin panjang.
"Iya, Bu. Maureen bakal selalu kangen Ibu," ucapku tanpa melonggarkan pelukanku.
"Iya, Rin," ucap Ibu lembut dan mencium keningku. Lalu melepaskan pelukan kami. "Nak Aldi, makasih ya sudah menjaga Maureen. Ibu titip Maureen ya. Kalau Maureen nakal, kamu boleh jitak kepalanya," ucap Ibu pada Aldi sambil menjitak kepalaku.

Spontan Aldi tertawa melihat Ibuku yang jahil.
"Siap, Bu," jawab Aldi sambil memberi hormat, lalu melanjutkan tawanya. Sepulang dari bandara, Aldi mengajakku untuk pergi ke Dago Pakar.

"Kita mau ke mana, Di?" tanyaku sambil memasang safety belt.
"Ke mana yah?" jawabnya yang malah bertanya balik.
"Ih? Beneran, Di. Aku nggak tau daerah dago loh."
"Tenang aja, aku mau ajak kamu ke tempat yang bagus. Kamu nggak akan nyesel," jawab Aldi lagi sambil tertawa kecil. Selama perjalanan, Aldi tiba-tiba menghentikan mobilnya. Dan keluar dari mobilnya.

"Kenapa, Di?" tanyaku spontan dan ikut keluar dari mobil. Aku sedikit panik karena wajah Aldi tampak panik saat ia menghentikan HRV-nya. Aku berlari kecil ke bagasi. "Di, kena-"
Ucapanku terhenti seketika melihat apa yang ada di bagasi. Sebuket besar bunga mawar putih. Pipiku tanpa kusuruh, memerah seketika. Bunga yang sangat cantik. Perlahan, Aldi memberikan bunga itu padaku.

Tanpa kusadari. Memoriku tertaut pada seseorang. Dan seseorang itu adalah Alex. Alexander Rafael Landibrata.

•••

"Hah? Jadi lu mau berhenti ngambil Alex dari Maureen? Gua gimana dong?" tanya Donny panik padaku.

"Ya lu usaha sendiri," jawabku cuek sambil mengulum lolipopku. Pagi-pagi sudah merecokiku soal urusan Maureen. Dasar menyebalkan.

"Heh, lu udah menjebloskan gua ke penjara. 2 bulan lagi, gua di DO dari kampus. Gua udah nggak ada kesempatan buat ngerebut Maureen." gerutu Donny. Ah! Dasar menyebalkan. Sudah bagus bisa keluar dari penjara sekarang, masih mengomel padaku? Yang benar saja?
"Lagipula, masa usaha lu, lu sia-siain begitu aja cuman karena muka dan fisik? Bisa operasi plastik, hello?"

"Lu diem aja deh, Don. Gua lagi mikir," jawabku sebal. Kata-kata Donny sedikit banyak benar. Muka tidak masalah. Tapi masalahnya sekarang, bagaimana? Bagaimana caranya agar Alex bisa move on dari Maureen dan benar-benar berpaling padaku?

"Mikir apa, lu?" tanya Donny. Namun aku tidak menggubrisnya karena tiba-tiba telepon dari Kresna masuk.

"Halo."
"Gua punya kabar bagus, Kan. Ini soal Maureen dan Aldi."

•••

Wajahku seketika merah padam, menahan amarah. Kania mengenal si brengsek Donny itu? Sejak kapan? Jadi merekalah dalang di balik semuanya? Bagaimana caranya si Donny sialan bisa keluar dari penjara dan malah jalan-jalan di Singapur? Apakah maksud dari semuanya?

"Apa mau lu, Kan?" tanyaku langsung. Mood buruk, bertemu musuh bebuyutan, mendapat fakta baru bahwa dirimu dikhianati. Bukan hari baik untukku.

"Easy. I want you to let her go. Gua tau lu masih sayang Maureen. I know everything. Including this one," jawab Kania sembari menyerahkan handphonenya padaku. Aku mendiamkannya. "Ayolah, gua nggak main-main Alex. Lu harus liat yang satu ini." Dengan malas, aku mengambil handphone dari tangannya.

Melihat apa yang terpampang di depan mataku, napasku memburu seketika. Sudah cukup aku menahan diri untuk tidak menghajar Donny. Sekarang apalagi ini? Sekarang aku malah ingin menonjok Kania sekalian. Sudah cukup menyebalkan dengan beberapa minggu mendekam di rumah sakit, kini harus melihat sesuatu yang tak ingin kulihat.

Sejujurnya aku hanya ingin melihat Maureen saja, tak perlu dengan Aldi yang memeluknya. Hatiku tak dapat terkontrol lagi. Hatiku panas, terbakar api cemburu.

Tidak apa kok, Rin. Sesuai harapanku, aku berharap kamu bahagia. Mungkin dengannyalah kamu bahagia. Aku berhak kok merasakan sakit ini, aku sudah menyakitimu lebih dulu.

•••

"Makasih banget yaa, Aldi. Aku suka bunganya," ucapku sambil memeluk bunga pemberian Aldi.
"Sama-sama. Bunganya jangan lupa dibayar yaa," ucap Aldi sambil tertawa.
"Ehh?"
"Tapi udah lunas kok. Liat senyum kamu, itu bayarannya. Kuanggap lunas," jawab Aldi sambil tersenyum simpul. Aku spontan tersenyum mendengar candaan Aldi. "Udah yuk, masuk ke mobil lagi," ajak Aldi lalu mengantarku dan menutupkan pintu mobil.

Sepanjang perjalanan, aku menciumi aroma yang menguar dari bunga pemberian Aldi. Tapi, semakin lama, aku semakin ingat Alex. Dimanakah kamu sekarang, Lex? Menghilang begitu saja. Sadarkah kamu, Lex? Seiring dengan jejakmu yang semakin menghilang, separuh hatiku ikut hilang.

Tanpa sadar, ternyata kami sudah sampai di tempat yang Aldi maksud. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam gedung berlantai tiga ini. Seorang satpam menyapa kami sembati mengatakan, "Restonya ada di lantai tiga." Lalu menekan tombol lift untuk kami. Aldi berjalan menuju meja kasir.

"Reserved atas nama Sean Rivaldi Johanssen," ucapnya singkat. Lalu seorang pelayan mengantar kami ke meja yang dimaksud. Aku langsung terpesona dengan apa yang ada di hadapanku saat ini. Sejauh mata memandang, hanya Bandung dari ketinggian. Mataku bahkan tak bisa lepas dari pemandangan ini. Membuatku kembali teringat dengan seseorang.

"Rin, mau pesan makanan dulu?" tanya Aldi memecah lamunanku yang baru saja dimulai.
"Oh, iyah Di." Aku beranjak dari bangku berbentuk potongan kayu besar yang terbuat dari semen. Aldi menggeserkan menu padaku.

"Uumm, aku mau Aglio Olio Pasta aja deh, toppingnya ayam. Minumnya, milk shake strawberry," ucapku pada pelayan setelah beberapa lama melihat-lihat menu.

"Saya pesan Tenderloin steak ya, mbak. Medium. Sama, black coffee satu. Makasih."
"Aldi, aku mau liat pemandangan lagi boleh ya?" Aldi mengangguk sambil tersenyum padaku. Mungkin karena tingkahku seperti anak kecil yang melihat seember es krim kesukaannya. Tak lama, Aldi mendekatiku.
"Mau kufoto? Buat kenang-kenangan," tawa Aldi padaku. Aku mengangguk senang dan menyerahkan handphone-ku padanya. Aldi meggeleng perlahan dan mengambil handphone dari saku celananya. "Pake hapeku aja."

Badanku rasanya masih kaku karena sudah lama hanya tiduran di rumah sakit. Jadilah Aldi yang mengarahkanku untuk berpose. Sesi fotoku berlangsung lama karena aku selalu tertawa melihat Aldi yang jinjit, jongkok, bahkan hampir tiarap demi mendapatkan foto yang bagus. Bahkan, Aldi mengaku bahwa dia adalah fotografer mahal yang sedang menyamar, dan aku harus membayar super mahal untuk jasanya.

Tepat saat makanan datang, aku sudah puas berfoto-foto ria. Sebelumnya, kami sempat mengambil selfie berdua dengan latar belakang kota Bandung dari ketinggian.

Selesai makan, Aldi mengajakku ke atas. Ternyata di atas masih ada lantai lagi. Tiba-tiba, kurasakan sebuah bandana menutup mataku.

"Duh, Di. Aku nggak bisa liat apa-apa," ucapku panik sambil berusaha melepaskan tangan Aldi.

"Sebentar aja, aku yang tuntun kamu ya," ucapnya lembut dan menuntunku menaiki beberapa anak tangga yang tersisa. Tiba-tiba, Aldi berhenti menuntunku. Tangannya yang sebelumnya menggandeng tanganku pun hilang. Aku spontan mencari-cari Aldi.
"Kamu udah boleh buka penutup matanya, Rin." Terdengar suara Aldi, tapi kini agak jauh. Perlahan aku membuka penutup mataku.

Aku terkejut dengan apa yang ada di hadapanku sekarang. Tampak akrilik yang bercahaya berwarna merah berbentuk "+", "=", dan hati ❤. Dan Aldi berdiri di sebelah kiri tanda "+". Sementara akrilik merah berbentuk itu itu tampak tertutupi bunga mawar putih dan tulisan " Would you be mine?"

Aku spontan menutup mulutku. Aku hanya tak menyangka semuanya akan terjadi hari ini.

•••

"Kan, tadi gua lihat kalau Aldi sama Maureen jalan ke Dago nih. Perlu gua buntutin?" terdengar suara serak-serak basah Kresna dari seberang.

"Iya, buntutin aja. Foto apapun yang lu dapetin ya. Makasih banget, Kresna. You help me so much," ucapku dan mengulum senyum. Kerja bagus, Kresna! pujiku dalam hati.

"Donn, kita berangkat ke Singapur sekarang. Gua punya rencana buat bikin Alex jadi milik gua," ucapku singkat dan beranjak dari hadapan Donny.

•••

Tak ada salahnya memberi Aldi kesempatan bukan? Alex pergi begitu saja, tanpa ucapan perpisahan. Ia menghilang untuk kedua kalinya. Selalu seperti ini. Sekarang ada Aldi di hadapanmu, Rin. Bukankah dia lebih baik dari Alex?

Tapi, Alexlah yang sudah menemanimu selama ini. Hatimu pun belum move on sepenuhnya. Bagaimana bisa menerimanya sepenuhnya? Bagaimana jika suatu saat Alex kembali?

Pikiranku berkecamuk. Seakan ada dua bagian dari diriku yang berperang. Di satu sisi, aku masih sayang Alex. Di sisi lain, bagiku tak ada salahnya memberi Aldi kesempatan untuk mengisi hatiku. Apa yang harus kujawab? Melihat wajah Aldi yang masih menanti jawabanku, aku rasanya tak tega.

"Um, Di."
"Rin, would you be mine?" tanya Aldi.
"Maukah kamu kasih aku waktu buat menjawabnya. Aku cuma pengen apapun jawabanku, aku sudah yakin dan nggak akan menyesal," ucapku pelan. Aldi perlahan beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan mendekatiku.

"Kamu tahu? Kamu selalu punya waktu. Aku akan selalu kasih kamu waktu, selama apapun yang kamu perlukan. Aku akan menunggu jawaban dari kamu, Rin. I will," ucap Aldi dan menggenggam tanganku. Mataku memerah.

"Di."
"Ya?"
"Thank you." Aku pun memeluknya. Rasanya hati ini lega dengan jawaban Aldi yang mau menungguku.

Tunggulah jawabanku, Di. Aku hanya ingin meyakinkan diriku lagi.

•••

Hai kengkawan semuaa.. Finally mimin bisa bikin seri A.M. Diary lagii, setelah sekian lama. Semoga kengkawan suka yaa.. Pantengin terus A.M. Diary yaa~

Maureen akan pilih mana?
Menerima Aldi atau tetap menunggu Alex?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar