Kamis, 26 Oktober 2017

A.M. Diary - Almost is Never Enough

"Hai, Clara," sapaku senang begitu melihat wajah sahabat lamaku di layar laptop. Kami terpisah karena Clara kuliah sastra Indonesia di universitas ternama di Jogja. Sementara aku memilih untuk tetap di Bandung. Meski begitu, kami masih sering berkomunikasi via skype.

"Haii Rinnn, apa kabar kamu? Tadi katanya mau curhat, kan? Mumpung aku lagi sepi tugas nih," sapa Clara tak kalah cerianya dariku.

"Yaah, begitulah," jawabku agak asal-asalan, aku sudah lelah dengan hati ini. "Antara Alex dan Aldi? Hal yang paling kubenci adalah harus memilih, Ra. Harus memilih antara bertahan dan berharap dia akan kembali. Atau menerima cinta yang baru, membiasakan diri lagi, belajar mencintai lagi, belajar nyaman lagi, saling mengenal lagi," ucapku lagi.

"Bukannya memang begitu siklusnya? Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Ada awal, pasti ada akhir. Entah akhir bahagia atau bukan. Kamu belum mencapai ending ceritamu, Rin. Mungkin karena perpisahan, kamu akan dipertemukan dengan yang lebih baik, entah orang yang lebih baik atau cerita yang lebih baik. Atau mungkin jika ada kesempatan, kembali pada orang yang sama, tapi tak mengulang cerita yang sama," jawab Clara puitis, tapi tidak lebay. Aku terdiam, aku tak tahu harus bilang apa. Alex rasanya masih menetap di hatiku, tapi Aldi punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan tempat di hatiku.

"Ini udah seminggu, dan aku belum menjawab apa-apa setelah Aldi menyatakan perasaannya padaku. Meski Aldi tetap bersikap seperti biasa, aku tahu. Aku tahu kalau ia menunggu." ceritaku lagi pada Clara.

Dan, aku pun tahu, rasanya menunggu sebuah ketidakpastian yang tak berujung. Seperti berjalan di tengah padang gurun. Semuanya tampak sama, semuanya tampak membingungkan. Tak ada yang pasti, tidak ada petunjuk, tambahku dalam hati.

"Sebenernya ya, Rin. Pilihan semuanya di tangan kamu. Memang susah buat memilih, aku jadi kamu pun bakal bimbang. Tapi, kamu harus memilih kan pada akhirnya?" Aku mengangguk sebagai responku atas pertanyaan Clara.

"Kalau begitu, pilih yang lebih worth it. Belajr berpaling dan melihat yang sudah di depan mata, atau tetap menunggu dan menanti Alex yang sekarang hilang tanpa kabar," jawab Clara sambil membetulkan posisi duduknya. Aku tersenyum kecil, Clara selalu begitu, kapanpun siap mendengarkan segala curhatanku. Dan selalu memberi solusi yag tepat sasaran.

"Tidak ada kabar adalah kabar, yaitu kabar tidak ada kabar. Tidak ada kepastian juga adalah kepastian, yaitu kepastian tidak ada kepastian. Hidup ini juga memang tentang menunggu. Menunggu kita untuk menyadari: kapan kita akan berhenti menung-"

"Tere Liye, Hujan," potong Clara seketika. Aku tertawa melihat responnya. Clara adalah penggemar berat Tere Liye, bahkan mungkin dia sudah hapal seluruh quote dalam buku-buku Tere Liye.

"-gu," lanjutku setelah aku selesai tertawa.
Drrrtttt.. Drrrtttt.. Ponselku bergetar tanda telepon masuk.
"Sebentar ya, Ra," ucapku sambil melihat siapa yang menelepon.

Aldi.

Melihat ekspresi wajahku yang berubah, Clara langsung menyoraki dan menggodaku. Pipiku memerah. Aku menaruh telunjukku di depan bibirku, menandakan Clara untuk diam. Clara langsung terdiam, namun sebagai gantinya, dia senyum-senyum sendiri.

"Halo.. Oh, sebentar aku keluar ya, Di," jawabku lalu mematikan sambungan telepon. Sementara itu, Clara sudah menantiku dengan wajah menyebalkannya.

"Jadi, Aldi sudah menunggumu di luar?" tanya Clara dengan tatapan siap menggodaku. Aku hanya mengangguk kecil. "Ya sudah, cepat sana keluar. Aku mengusirmu. Cepat katakan padanya jawabanmu, sebelum dia nanti malah diembat yang lain. Aku juga mau nyicil tugas lagi nih, bubye Maureen sayangg," ucap Clara dengan nada manjanya.

"Bubyee Claraaa," jawabku sama manjanya.

"Eh, Ri-!" Klik. Aku sudah keburu mematikan sambungan skype. Layar pun berganti dengan wallpaper laptopku.

Deg! Aku lupa kalau selama ini aku belum mengganti wallpaper layar laptopku. Gambar yang Alex buatkan untukku. Foto selfie kami yang ia sulap menjadi gambar arsiran hitam putih. Waktu itu, aku langsung scan gambar Alex, dan menjadikannya wallpaper.

Kulirik jam tangan putih gading yang melekat di tanganku. Hampir lupa! Aldi masih menungguku di luar, segera aku mematikan laptopku, menyisir sedikit dan berlari ke pintu sambil menyampirkan sling bag.

Alex, kalau kamu menemukanku sudah menjatuhkan hatiku pada orang lain, ketahuilah bahwa aku telah menempuh ratusan malam menantimu untuk kembali. Namun kau tak kunjung kembali, dan aku pun berhenti menantimu. Maaf, ucapku dalam hati.

Klik.

"Hai, Rin. Siap berangkat?" tanya Aldi dengan tatapan lembutnya. Deg! Entah kenapa, suara yang Aldi keluarkan, malah terdengar seperti suara Alex di telingaku.

"Di, nanti aku mau ngomong ya," ucapku pelan sambil mengunci pintu rumah.

Tapi.. Waktu itu kamu kembali kan, Lex? Meski kemudian menghilang lagi. Haruskah aku kembali memberikan ratusan malam untuk menantimu lagi? Menantimu kembali ke pelukanku lagi? Haruskah?

•••

Begitu aku mendengar kalau aku sudah boleh pulang ke Indonesia, dengan syarat aku harus kembali untuk check up bulan depan. Tanpa pikir panjang, aku segera memesan tiket pesawat secara online. Persetan dengan trauma yang beberapa minggu kemarin menghantuiku. Aku tak peduli, aku harus bertemu Maureen.

Entah apa jawaban Maureen atas permintaan Aldi untuk menjadi pacarnya seminggu lalu. Mungkin semuanya sudah terlambat, tapi aku tak peduli. Aku tak peduli, kau harus merebutmu dari Aldi, tak apa, akan kulakukan. Kalau kamu bilang aku egois. It's okay, Rin. Karena cuma kamu yang aku butuhin.

Sepanjang perjalanan di pesawat, jujur aku merasa tidak nyaman. Apalagi mengingat Kania dan Donny yang datang waktu itu benar-benar menyebalkan. Tapi di sisi lain, aku bersyukur. Karena mereka, aku nekad naik pesawat lagi. Pulang ke Bandung, dan kembali memperjuangkan Maureen. Meski sampai sekarang, aku tak tahu apa maksud mereka.

•••

Klik, pintu mobil di sebelahku terbuka. Suara lembut Aldi kembali menyapa telingaku.
"Ayo turun, Rin. Atau kamu mau di mobil aja?" tanya Aldi setengah menggoda. Aku seakan terbangun dari mimpi panjang yang membingungkan. Tanpa membuat Aldi menunggu lebih lama, aku pun keluar dari mobil.
"Kamu lagi sakit ya? Daritadi diem aja," tanya Aldi khawatir. Seketika, punggung tangan Aldi sudah mendarat di keningku. "Nggak panas," ucapnya pelan.

"Aku nggak apa-apa kok, Di. Cuman agak tepar aja kemarin ngejer tugas, begadang. Hehe," jawabku ngeles. Tapi aku tidak bohong. Aku memang mengerjakan tugas sampai subuh. Tapi, bukan itulah penyebab diamku. Bukan itu.

"Nanti kalau kamu kenapa-kenapa, langsung bilang aja ya." Aku hanya mengangguk perlahan. Hatiku dan otakku kacau. Hatiku berkata, "Selagi Alex belum ada kabar, apa salahnya menunggunya sebentar lagi? Kamu kan nggak tahu apa yang terjadi padanya." Otakku berkata, "Bodoh! Untuk apa menanti seseorang yang bahkan menghilang dari hidupmu begitu saja! Masih ingatkah kamu, kalau dia menyakitimu begitu hebat?!"

Ingin rasanya mengikuti hati ini, tapi ujungnya selalu menyakitkan jika mengikuti kata hati. Tapi jika aku mengikuti apa yang otak ini katakan, hati tak akan tenang, bahkan mungkin lebih menyiksa.

"Rin, aku hanya berusaha untuk selalu menjalani kebersamaan kita dengan sepenuh hati. Jadi, jika suatu saat nanti kamu memilihnya. Hari-hari tanpamu menjadi hari-hariku tanpa penyesalan. Minimal, aku sudah melakukan yang terbaik dan menciptakan kenanngan baik selagi kita masih bisa bersama," ucap Aldi pelan.

Aku memiringkan kepalaku. Bingung.
"Maksudmu apa, Di?"
"No, nothing," jawab Aldi singkat. Aku hanya terdiam, apa maksud dari ucapannya? Aku bukannya tak mengerti, aku hanya takut salah mengartikan. "Aku mengerti kamu masih ragu, Rin. Aku akan menunggu, selama apapun yang kamu butuhkan. Nggak perlu merasa tergesa-gesa," ucap Aldi seolah mengerti kebingunganku.

"Maaf, Di. Aku masih butuh waktu." aku menundukkan kepalaku. Rasanya tak enak menatap matanya. Aku merasa bersalah, memintanya menunggu sampai selama ini. Aldi mengusap rambutku, "It's okay, Rin."
Aku mendongakkan kepalaku. Tatapan Aldi sangat lembut. Aku tersenyum lega.

•••

Sial! Perjalanan dari Singapur ke Jakarta tidak lama, tapi Jakarta Bandung? Jangan tanya berapa lama. 5 jam! Sesampainya aku di depan rimah Maureen. Rumahnya kosong.
"Kamu pergi kemana, Rin?" tanyaku entah pada siapa.

Hujan perlahan turun. Aku hanya bisa menunggu di luar, meski tak kehujanan, udara dingin menusuk tulang. Semakin malam, semakin menusuk. Hujan seakan membawa kembali kenanganku bersama Maureen.

•••

"Rin, maaf ya aku harus cepet-cepet pergi lagi," ucap Aldi sebelum aku keluar dari mobil.
"Iya, Di. Nggak apa-apa. Thanks for today yaa." Aku pun menutup pintu mobil dan berlari kecil ke pagar rumahku. Membuka gembok, dan terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapanku.

Alex?! Itukah kamu?!
"Lex?" sapaku dengan suara yamg bahkan teredam oleh suara hujan. Alex mendongakkan kepalanya padaku. Tersenyum lemah. "Bagaimana caranya kamu bisa di sini?" tanyaku seraya mendekatinya. Alexku, maaf. Alex maksudku. Alex tak menjawab, hanya dengan senyum khasnya menunjukkan kunci rumahku.

"Aku masih menyimpannya, Rin," jawan Alex perlahan. Alex tubuhnya penuh luka, luka bakar, bekas goresan, bahkan aku melihat kruk tergolek di sampingnya.
"Lex, masuk aja. Di sini dingin," ajakku setelah aku membuka pintu.

"Kenapa kamu malah nunggu di luar? Kamu kan punya kunci, bisa buka pager, tapi nggak buka pintu," omelku sambil membawa dua cangkir teh manis. Perlahan aku memberikan cangkir teh untuk Alex. Alex tampaknya masih kedinginan sekalipun sudah kuberikan selimut.

Lama sekali, di antara kami berdua tidak ada yang berbicara. Hening.
"Kamu ke mana aja? Merawatku waktu aku sakit, mau kupeluk saat aku sudah sadar, tapi meninggalkanku di hari selanjutnya," ucapku sambil terisak.

"Rin, maaf," jawab Alex pelan. "Selama ini aku bohong. Aku bohong soal aku udah nggak sayang kamu, aku cuma akting deket sama Kania, aku bohong kalau aku udah nggak perhatiin kamu. Aku masih sayang kamu, Rin. Perasaan aku ke kamu masih sama, dan nggak berubah," ucap Alex panjang lebar.

"Lalu?" Aku bahkan tak tahu harus merespon apa. Benarkah yang kamu katakan, Lex?

"Aku.... Aku mohon sama kamu, mssih adakah kesempatan buatku, supaya kembali dapat tempat di hati kamu?" tanya Alex.

"Aku pengen banget buat percaya sama kamu, Lex. Aku percaya sama kamu, tapi aku nggak percaya sama waktu. Waktu bisa merubah perasaan kamu. Aku takut, Lex. Aku takut kamu buang aku lagi seperti kemarin."

Dan suara deru hujan menemani keheningan ini.

"Aku bodoh, Rin. Maaf. Aku seharusnya nggak pernah ngelakuin ini ke kamu, harusnya kamu tahu dari awal. Harusnya aku nggak berbohong sama kamu. Maaf, Rin. Kamu boleh nggak percaya sama aku lagi, nggak apa-apa. Tapi, aku berharap kamu percaya yang satu ini. Aku berharap kamu percaya kalau aku masih sayang kamu. Dan aku nggak bohong," ucap Alex memecah keheningan.

•••

Nanti berlanjut yaaa~

Kamu #teamMaureenAlex or #teamMaureenAldi ? Vote di comment yaa <3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar