Rabu, 13 September 2017

A.M. Diary - Alex story Day 32 (part 2)


Previous part.. 
http://sorelatablelove.blogspot.co.id/2017/09/am-diary-alex-story-part-1.html?m=1
.
.
Baru kali ini aku menginjakkan kaki ke kantor polisi. Penampilanku memang agak bangor, tapi bukan berarti aku suka berulah sampai digiring polisi. Seorang polisi berjalan di depanku, menunjukkan jalan ke ruang interogasi. Aku celingak-celinguk, kantor polisi ini cukup sepi, mungkin karena malam hari.

Baru saja beberapa langkah aku mengikuti petugas polisi itu, kudengar sebuah percakapan singkat.

"Lapor pak! Ini tersangka atas kecelakaan tadi siang. Sudah kami interogasi," ucap sang polisi pada seorang polisi lain, yang jabatannya pasti di atas polisi itu. Kulirik sekilas ke arah orang yang mereka sebut tersangka. Mataku terbelalak kaget menyadari orang itu adalah Donny! Sialan!

Napasku memburu menahan emosi. Sudah kuancam agar dia tidak mendekati Maureen lagi. Berani-beraninya dia mencelakai Maureen sekarang. Aku masih terus berusaha menahan emosi, kupercepat langkah kakiku agar menyamai polisi di depanku.
"Pak, apakah dia tersangka dari kecelakaan yang melibatkan saya sebagai saksi?" tanyaku.
"Iya, dia tersangka utamanya. Tapi kami menduga ada seseorang di baliknya," jawab polisi itu singkat. Aku terdiam. Kuhentikan langkahku. Seseorang di balik kecelakaan ini? pertanyaan itu muncul di pikiranku. Perlahan kulangkahkan kakiku mendekati Donny.

DUAAAGHHHH!!! Kutendang wajah Donny. Seketika Donny tersungkur dan tangannya yang terborgol di depan menutup wajahnya. Kalap, kutonjok lagi Donny dengan sekuat tenaga. Biar dia tahu rasa sakit yang Maureen rasakan. Baru saja aku mau melancarkan pukulanku yang entah sudah ke berapa kalinya, para petugas polisi meringkusku dan segera menjauhkanku dari Donny.

"Heh kamu! Siapa yang memperbolehkan kamu berlaku seperti itu!" amuk sang polisi setelah memborgol tanganku. Sial! Dia pikir aku ini apa?! Sampai-sampai tanganku diborgol begini. Aku hanya menunduk, kalau kutanggapi, bisa-bisa gawat. Tapi aku pun sadar, agak percuma aku menghajar Donny. Tapi asalkan dia tau rasa sakit yang Maureen rasakan, aku sedikit lega.

Selama 1½ jam aku diinterogasi, perutku sudah sangat keroncongan. Bahkan para polisi itu tidak membiarkanku istirahat barang 5 menit untuk menghirup udara. Alhasil, aku keluar kantor polisi tanpa tenaga. Aku berjalan lemas, mencari tempat makan yang murah meriah. Isi dompetku langsung terkuras karena urusan administrasi ke rumah sakit.

Kulihat ada pedagang seblak dan pedagang makanan lainnya yang terkumpul di satu pujasera. Ingatanku langsung melayang ke masa-masa dulu. Senyum kecil tergurat di bibirku. Aku tiba-tiba teringat waktu Maureen sakit batuk, kularang dia waktu itu supaya tidak makan seblak. Tapi Maureen tetap bandel dan makan seblak kesukaannya. Kucubit hidungnya sampai dia mengaku kalau dia makan seblak. Ah, kalau saja kamu ada di sini, Rin. Pasti kamu udah lari-lari sambil narik aku buat beli seblaknya, kan?

Kulangkahkan kakiku untuk membeli seblak. Sampai sekarang, aku belum pernah mencoba yang namanya makan seblak. Penasaran seperti apa rasanya sampai-sampai Maureenku tergila-gila padanya. Sambil menunggu seblaknya tiba, aku menyeruput jus mangga. Cukup untuk mengganjal perut, tapi tentu saja dengan keadaan dari pagi sampai malam belum makan, tentu perutku masih minta diisi full tank.

Kulemparkan pandanganku pada sekelilingku. Hampir semua orang yang di sini datang bersama kekasihnya, dan beberapa di antaranya datang bersama keluarga ataupun teman. Hanya aku yang datang sendiri. Keliatan banget ya jomblonya, pikirku sambil mentertawai diri sendiri. Padahal dulu rasanya pergi kemana-mana, selalu ada Maureen yang menemaniku.

"Silakan mas, seblaknya," ucap bapak pedagang seblak sambil menaruh mangkok berisi seblak di hadapanku.
"Makasih pak," ucapku singkat. Lalu merapal doa sebelum makan. Kusuapkan seblak yang warnanya agak merah. Memang enak! Panas, gurih, asin, pedas, rasa kencurnya pun pas. Ah pantas saja kamu suka banget sama seblak ya, Rin, batinku dalam hati sambil menyuapkan seblak ke mulutku.

Sebelum aku kembali ke rumah sakit, aku memilih untuk pulang. Ganti baju. Memang saat di kantor polisi, polisi memberikanku baju ganti, hanya kaus dan celana lusuh. Aku agak kurang nyaman memakainya, sekaligus mau kumasukkan ke mesin cuci bajuku yang tertutup darah.

Setelah selesai semua urusanku di rumah, aku pergi ke rumah Maureen. Dulu aku lupa mengembalikan kunci rumah Maureen padanya saat kami putus. Kubuka pintu pagarnya, agak berderit.

"Kamu udah jarang ngasih minyak ke engselnya ya, Rin," ucapku pelan sambik tersenyum kecil. Pagar ini, warnanya masih sama. Warna biru muda, dulu aku dan Maureen mengecatnya bersama-sama. Kulanjutkan langkahku masuk ke dalam rumah, mungkin memang lancang. Tapi dulu, aku malah sering melompati pagar rumah Maureen karena pagarnya pendek.

Semuanya masih sama, sofanya dan bantal cussionnya masih sama. Gordennya sepertinya baru diganti Maureen dengan gorden baru. Semuanya masih tampak sama, bahkan kipas angin di ujung ruang tamu masih di sana, rak berbentuk seperti pohon yang dulu kubuat untuk Maureen menaruh novel-novel koleksinya. Aku juga menitipkan beberapa komik Naruto-ku di rak itu. Dan semuanya, masih tertata rapi.

"Terlalu banyak kenangan di sini ya, Rin," ucapku seolah-olah Maureen ada di sebelah kananku. Aku masuk ke kamar Maureen, kuambil beberapa helai baju dari lemarinya. Tercium wangi pewangi baju dari lemari Maureen, wangi yang selalu kucium sewaktu berada di dekatnya. Kulirik meja belajar Maureen, dan kini mataku mendapati sebuah buku notes dengan cover colourfull.

Entah inisiatif dari mana, kuambil buku itu. Kubaca tulisan kecil yang ada di covernya.
"Ah, jadi aku gagal membuatmu membenciku ya, Rin? I still love you too, Maureen," ucapku pelan sambil mengusap-usap cover buku itu, menghilangkan debu yang menempel. Kumasukkan semua baju yang tadi kuambil dari lemari Maureen ke dalam tote bag yang kutemukan di tepi kasur. Kumasukkan pula buku notes Maureen dan pulpen, barangkali kalau ia sudah sadar, ia ingin menulis sesuatu.

"Cuma kamar ini yang berantakan ya, Rin," ucapku pelan lagi-lagi sambil membayangkan Maureen ada di sebelahku. Kukunci pintu kamarnya dan kulangkahkan kakiku ke ruang tamu. Kukunci semua pintu dan pagar. Segera kupacu motorku ke rumah sakit.

Kulirik jam tanganku setibanya di rumah sakit. Sekarang jam 11 malam. Oke, sudah larut ternyata. Rumah sakit pun sudah agak sepi, hanya beberapa kali kulihat suster jaga malam berseliweran. Aku agak bimbang saat akan memutar hendel pintu kamar Maureen. Dari balik kaca kulihat ada seseorang yang sedang memegang tangan Maureen. Dan orang itu adalah Aldi.

Aku menarik napas perlahan, lalu membuangnya, dan memutar hendel pintu. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin mengantar baju dan buku Maureen. Itu saja. Ternyata Aldi tertidur si samping Maureen. Entah sudah berapa lama Aldi menemani Maureen. Kutaruh tote bag yang kubawa di meja sebelah kasur Maureen.

Kulihat tangan Aldi menggenggam tangan Maureen erat, seperti aku menggenggam tangan Maureen tadi.

"Sekarang, sudah ada orang lain yang menggenggam tangan kamu ya, Rin. Semoga Aldi orang baik, dan dia nggak bakal nyakitin kamu," bisikku pelan di samping Maureen. Kuelus rambutnya, "See you again Maureen, I really miss you."

Seusai kuucapkan salam perpisahanku yang entah berlaku sampai kapan. Aku keluar dari kamar Maureen.


Ps : nanti ada lagi kok Alex story-nya, eheheheh.. Ditunggu aja yaaa..
Love, mimin

10 komentar: