Minggu, 17 September 2017

A.M. Diary - Maureen Story day 43




Kepalaku masih pusing dan kakiku masih kadang terasa sakit. Yang kutahu, ini sudah hari ke-7 aku di rumah sakit. Aku sudah terbiasa dengan bau rumah sakit ini.

Saat aku pertama kali terbangun, yang kulihat di sampingku adalah Aldi, bukan Alex. Jujur aku kecewa, tapi seketika aku tersadar. Sebanyak apapun aku berharap Alex untuk di sampingku, itu hanya akan menjadi harapan kosong. Karena ku tahu Alex sudah bahagia dengan Kania.

Berhari-hari setelah aku sadar, hari-hariku kulalui dengan makan makanan dari rumah sakit, tidur, minum obat, mandi, cek kondisi tubuhku, dan berbagai hal membosankan lainnya. Ya, aku sudah tahu semuanya. Aku kecelakaan parah, kaki kiriku patah, ginjal kiriku pecah dan sudah diangkat, dan kepalaku mengalami keretakan ringan. Saat dokter mengatakannya, aku langsung menangis sekencang-kencangnya. 

Bukan karena rasa sakitnya, bukan juga karena kenyataan mengejutkan itu. Entah kenapa aku menangis, mungkin karena saat aku mendengarnya, tidak ada Alex di sampingku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku menangis.

Setiap hari Aldi datang dan menemaniku makan dan minum obat, sampai aku tertidur karena efek samping obat dan memang aku masih harus banyak sekali istirahat. Beberapa kali, aku seperti melihat Alex di balik kaca pintu kamarku, tapi setiap kali aku mengedipkan mata, dia menghilang. 

Jadi kupikir, itu hanya bayanganku.
Dan hari ini, aku terbangun tanpa ada Aldi di sampingku. Susah payah aku membuat tubuhku menjadi posisi duduk. Kulihat sebuah tote bag di samping kasurku. Tote bag-ku! Siapa yang membawanya ke sini? Pikirku sambil menggapainya. Susah sekali menggapai barang yang bahkan di sebelahmu dengan tubuh yang sakit jika digerakkan. Huft.

Tiba-tiba saat aku masih berusaha menggapai tasku, kudengar suara "klik". Kutengok ke arah pintu kamar. Itu bibi! Seulas senyum spontan merekah di bibirku.

"Bibi!" kuteriakkan panggilanku pada wanita separuh baya itu. Bibi ikut tersenyum, tapi kutahu wajahnya panik melihat kondisiku saat ini. Ya, mungkin bisa dibilang parah. Bibi memelukku sangat erat, tapi anehnya, tidak sakit rasanya. Aku malah merasa hangat. 

Tiba-tiba, aku merasa bahuku basah.
"Bi?" tanyaku sambil melonggarkan pelukan kami untuk melihat wajah Bibi. Kulihat hidungnya merah dan matanya sembab dan masih meneteskan air mata. 

"Bibi nggak apa-apa, dek. Bibi cuma sedih liat dek Maureen sakit kayak gini. Selama Bibi kerja, adek Maureen nggak pernah kayak gini," ucap Bibi pelan sambil menyeka air matanya.
"Bi, Maureen nggak apa-apa, kok. Cuma sakit sedikit, bentar lagi pasti Maureen sembuh."

Aku berbohong. Tak mungkin sebentar lagi aku sembuh. Paling tidak butuh 2 minggu lagi agar kakiku pulih, itupun kalau aku sering melatih tubuhku lagi. Tapi dokter menyuruhku untuk tidak bergerak terlalu banyak karena kepalaku masih sering pusing. Luka bekas operasi pengangkatan ginjalku belum kering. Dan patah tulang di kakiku cukup parah.

"Iyah, dek. Selama dek Maureen dirawat di sini, bibi jagain ya. Anak bibi udah kerja, jadi bibi nggak jadi pembantu lagi di majikan yang terakhir," jelas bibi sambil memberikanku tas ransel berwarna pink pastel. Tasku!

Kubuka resletingnya. Isi tasku hanya baju-bajuku, beberapa novel yang pernah kubaca. Dan komik?
"Bi, ini kan komik Alex yang ada di rumah?" tanyaku sambil menunjukkan komik itu.
"Iya, dek. Tadi kan bibi ke sini dianter dek Alex. Dek Alex ke rumah dek Maureen ambil baju sama buku-buku, terus minta bibi nemenin dek Maureen di sini," jelas Bibi penuh semangat.

Bibi sudah mengasuhku sejak sebelum ayahku meninggal. Sejak ayah sakit tepatnya. Ibuku pontang-panting mencari uang ke sana kemari sampai keluar kota. Jadilah bibi mengasuhku dan merawat ayahku. Ia datang pagi dan pulang sore, setelah aku pulang sekolah, akulah yang merawat ayah. Bibi sudah seperti ibu keduaku. Tapi tetap, ibuku hanyalah ibu yang selama ini pontang-panting mencari uang untukku, bahkan sampai kuliah meski aku apply beasiswa.

Meski ibu jarang pulang, kami sering berkirim pesan dan voice call maupun video call.
"Oiyah bi, siapa yang mengantar bibi tadi?" tanyaku.
"Loh? Tadi kan bibi sudah bilang. Yang nganter bibi ke sini kan dek Alex. Dia juga yang ambil baju dan buku buat dek Maureen," jelas bibi sekali lagi padaku.

Seketika aku bingung. Bagaimana bisa aku lupa kalau aku sudah menanyakan hal barusan sebelumnya. Apa mungkin karena cedera di kepalaku?
"Dek, bibi mau pipis dulu ya. Kebelet dari tadi, dek Maureen mau tiduran dulu? Bibi bantuin," ucap bibi memecah pikiranku.
"Oh, iya. Nggak apa-apa bi, aku mau duduk dulu aja, capek tiduran terus," tolakku halus pada bibi. Memang tiduran terus membuat tubuhku ngga enak.

Pikiranku kembali mengawang-ngawang. Jujur pada saat kecelakaan, sebelum aku pingsan sepertinya, aku mendengar suara yang selama ini aku rindukan. Suara Alex yang meneriakkan namaku. Tapi yang kupikir itu hanyalah imajinasiku karena kukira aku akan meninggalkan dunia ini. Aneh rasanya mengetahui bahwa yang mengantar bibi ke sini adalah Alex.

Hanya satu hal yang kutahu, Alex sudah bahagia dengan Kania. Aku sudah tidak mencari kabar tentangnya lagi karena kupikir semuanya sudah berakhir. Alex sudah tidak mencintaiku dan dia sudah melupakanku. Maka aku pun akan berusaha melakukan hal yang sama.

Kembali kulirik tote bag yang ada di sampingku. Aku mencoba meraihnya lagi. Dapat! Barang pertama yang kulihat adalah diary-ku dan pulpen pink. Ah, aku kangen sama diary ini, batinku sambil membuka diary-ku. Aku terkesiap melihat sebuah sticky note dengan tulisan tangan cakar ayam milik Alex. Sticky note itu bertuliskan "GWS ya, Rin. -Alex-"

Sangat singkat, tapi aku seketika merasa tubuhku jauh lebih sehat. Aneh, apakah karena pemilik tulisan cakar ayam ini, atau karena ucapannya di sticky note ini? Di bawah tulisan "GWS ya, Rin." Kulihat ada 2 kata yang dicoret tebal dengan pulpen. Aku penasaran dengan 2 kata yang tercoret itu.
Deg! Tiba-tiba aku tersadar 2 hal. 

Pertama, Alex bisa jadi sudah membaca seluruh isi buku diary-ku. Kedua, aku baru bisa membaca 2 kata yang tercoret itu. "Miss you", itulah yang Alex tulis. Benarkah kamu merindukan aku, Lex? tanyaku pada diri sendiri. Pikiranku kembali terpecah saat aku mendebgar suara pintu terbuka. Rupaya bibi sudah selesai memakai toilet. Segera kututup buku diary-ku dan kumasukkan lagi ke dalam tas. 

"Dek, kamu tau ga siapa yang nyelakain kamu?" tanya bibi dengan semangat sambil mengambil kursi dan duduk di sebelahku.
"Ya, Maureen nggak tau, Bi. Maureen juga nggak minat tau, tau pun buat apa? Yang penting Maureen sembuh dulu aja," jawabku sambil membetulkan posisi dudukku.
"Dek Alex bilang sama bibi kalau pelakunya udah ketangkep loh, dek! Katanya Alex udah nuntut orangnya, dan udah minta ganti rugi, jadi biaya rumah sakit kamu, dibayar sama orang itu!" cerita Bibi penuh semangat. Yah, sebelas duabelas dengan semangat 45. 

"Alex yang cerita ke bibi?" tanyaku penasaran. Benarkah semuanya itu? Berarti Alex tahu betul aku
kecelakaan. Mungkinkah dia ada di sana waktu kecelakaan kemarin?
"Iya dong, dek. Masa bibi ngarang? Alex juga bilang supaya rahasia-in ini dari kamu loh, dek," jawab bibi dengan wajah tanpa dosa. 1.. 2.. 3.. "EEEHHHHH, BODO BIBI TEH DEK! KOK MALAH BIBI KASIH TAU KE DEK MAUREEN?!" teriak bibi histeris setelah ia membekap mulutnya sendiri. 

Spontan aku tertawa melihat tingkah bibi, juga Alex. Aku yakin Alex sudah tahu kalau bibi sering keceplosan, masih saja memberitahu rahasia padanya.
"Ahahaha, tidak apa-apa kok, bi. Alex nggak akan marah," ucapku setelah tawaku usai. Bibi mengelus dada setelah mendengar ucapanku.
"Bibi udah takut duluan, dek. Semoga dek Alex nggak marah sama bibi. Oh iya, dek Maureen masih pacaran sama dek Alex kan? Bibi heran, tadinya bibi pikir dek Alex ikutan masuk, ternyata dia nggak ikut masuk ke kamar," ucap bibi dengan wajah bingung.

"Ouh, soal itu, Bi. Maureen udah putus sama Alex," jawabku. Aku agak enggan membicarakannya karena takut bibi bertanya macam-macam padaku. Tapi toh, bibi yang selama ini mengurusku, jadi dia sudah seperti ibuku, dan aku tidak keberatan kalau bibi tahu banyak soalku.
"Ah, sayang banget dek. Tapi bibi percaya kalian bukan putus karena hal sepele kayak ABG ABG lain gitu. Putus, cuma karena hal sepele, terus yang diputusin gamau makan. Ah kayak gitu mah alay," ucap bibi sambil mengibaskan tangannya.

"Ya, begitulah, Bi," jawabku sambil membuka-buka halaman komik yang sebelumnya di pangkuanku.
"Ibu udah tau soal adek?" tanya Bibi, kali ini dengan wajah serius.
"Sudah, Bi. Katanya besok atau hari ini mau pulang, tengok aku. Tapi Maureen nggak enak, Bi. Ibu udah capek cari uang, Maureen masih aja ngerepotin dan bikin khawatir Ibu," jawabku murung. 

"Ah dek, kecelakaan mah siapa yang tau? Dek Maureen kan nggak mungkin sengaja buat ditabrak orang," ucap Bibi menenangkanku. Jam-jam berikutnya, kami isi dengan bertukar cerita, bibi juga menyuapiku saat waktunya makan.

Perhatian bibi mengingatkanku pada perhatian Alex. Dari sisi perhatian, mereka mirip sekali. Mungkin Alex perhatian karena bibi sering perhatian padanya dulu, jadi Alex menirunya. Wajar, anak orang kaya sepertinya pasti kesepian. Orang tuanya sibuk melebarkan sayap bisnis mereka, sementara anak hanya untuk penerus saja. Tapi yang kutahu, Alex tidak ingin menjadi penerus perusahaan. Ia bilang dia ingin membuat bisnis kafe & rest bersamaku. Dia bilang akulah kokinya. Aku jadi merindukannya.

Bibi bilang dia akan pulang setelah aku minum obat dan tertidur. Dan seperti biasanya karena efek obat, aku pun tertidur.
Kubuka mataku perlahan, lampu kamar menyala? Baru saja aku mau mengucek mataku, tapi tanganku seperti tertahan. Aku mencoba menarik tanganku lagi, tapi nihil. Tanganku tetap tertahan. 

Dengan kondisi kepalaku yang pusing kalau aku menoleh terlalu banyak, aku pun bersusah payah untuk duduk. Yang ada di pikiranku, mungkin Ibu atau Aldi yang menungguku bangun.
Saat aku bisa duduk dan melihat siapa yang menahan tanganku, kulihat seseorang dengan jaket hitam, yang kepalanya ditutup hoodie. Jaket hitam? Tapi jaket ini rasanya baru kulihat. Alex?! Tiba-tiba entah kenapa, aku berniat jahil padanya. Sudah lama aku tidak menjahilinya, padahal jahil sudah menjadi kebiasaanku bila dengan Alex. 

Tapi ini benarkah dia?
Perlahan kuputar tanganku yang sebelumnya dari posisi telungkup menjadi sebaliknya, kuraba wajah laki-laki ini. Kalaupun bukan Alex, seenaknya saja dia menahan tanganku! pikirku sambil memencet hidungnya. Kuhitung dalam hati berapa lama orang ini dapat menahan napas. Tiba-tiba, orang itu bangkit dari posisinya dengan napas tersengal-sengal. Gotcha!

"Maureen, kamu ngapain?!" tanya Alex sambil terus mengatur napasnya setlah aku memencet hidungnya selama 15 hitungan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Benarkah Alex yang ada di hadapanku sekarang? Benarkah itu kamu, Lex? Perlahan air mataku jatuh. Selama sebulan lebih ini, aku bersusah-susah menghindari diri agar tidak pernah bertemu Alex lagi. Kenapa saat ini kamu yang menghampiriku? Itulah isi pikiranku.

Alex tampak ikut kaget melihatku menangis. Aku hanya menunduk sambil sesekali menyeka air mataku dan hidungku yang tiba-tiba meler ini. Tiba-tiba, Alex menyodorkan jaketnya. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya heran.

"Kamu dulu pernah nangis di jaketku, dan jaketku jadi basah dan ada ingusnya, ehehe," ucap Alex menjawab pertanyaan yang bahkan tak kulontarkan. Aku menggeleng, menolak jaketnya, dan aku malah menekuk kaki kananku dan kaki itulah yang menjadi tumpuanku sekarang. Kutangkupkan kepalaku ke atasnya.

"Maaf aku harusnya nggak bangunin kamu. Maaf bikin kamu nangis lagi, aku pergi ya?" Aku tidak sanggup menjawab pertanyaannya karena aku sibuk mengatur napasku yang tertahan oleh ingusku.
"Duh, aku jadi kayak ngomong sama patung nangis nih," lanjut Alex lagi. Aku tidak melihatnya, tapi aku yakin Alex mengucapkannya sambil menggaruk kepalanya.

Sejujurnya, sedari tadi aku menahan diri untuk tidak memeluknya. Alex yang selalu aku rindukan tiap malam, yang selalu teringat di pikiranku saat langit penuh bintang. Alex yang masih belum kulepaskan. Ales yang masih kusayangi, bahkan perasaanku belum pudar. Saat kupikir jauh darinya adalah jalan terbaik, mungkin itu tidak benar.

"Rin?" tanya Alex. Ia kembali duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki dan menatapku sambil menunggu aku berhenti menangis.
"Maaf," ucapnya masih dengan nada yang sama. Entahlah, aku seperti bisa merasakan semua yang Alex rasakan hanya dari suaranya. Marah, kecewa, geram, menyesal, dan. Rindu?

"Lex," akhirnya bibirku ini bisa mengucapkan sepatah kata. Namun Alex tidak menyahutiku, mungkin karena dari tadi, dia yang berbicara. "Boleh aku meluk kamu?" tanyaku dengan suara sekecil mungkin. Karena itu hanyalah permintaan bodoh. Memeluk mantan kekasih? Orang pasti berpikir aku bodoh dan gila.

Namun sepertinya Alex mendengar permintaanku, ia bangkit dari kursinya. Dan kurasakan tangannya mengelilingi tubuhku. Tak dapat kutahan lagi, aku membalas memeluknya. Sudah lama sekali aku berharap bisa memeluknya lagi. Dan aku sangat bersyukur Tuhan mengabulkannya hari ini. Kurasa, pelakunya dibebaskan pun tak apa.

 Karenanya, aku bisa memeluk Alex lagi. Meskipun mungkin hanya sekali.
"Aku udah menemukan pelakunya, Rin. Udah aku tangkep dan masukkin ke penjara. Udah aku tuntut supaya dia ganti rugi. Juga udah aku hajar," ucap Alex pelan.
"Kamu nggak perlu kayak gitu, Lex," jawabku tanpa melonggarkan pelukanku padanya. 

"Nggak, Rin. Aku harus, karena aku pernah janji sama kamu, kalau akulah superhero kamu. Inget kan?" Alex kini melonggarkan pelukannya padaku dan menjauhkan tubuhnya dariku. Tapi tangannya kini menggenggam kedua tanganku.
"Aku masih sa-" Tiba-tiba ucapan Alex terputus karena suara pintu kamarku yang terbuka. Sontak kami berdua menatap ke arah pintu. Aldi?!

Aku masih menatap ke arah pintu, tapi kurasakan Alex menarik tangannya dari tanganku. Aldi hanya diam tak berkutik di pintu melihatku bersama Alex di kamar. Aku menoleh ke arah Alex dan melihatnya memakai jaket hitamnya, dan berjalan menuju pintu. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi padaku kecuali lambaian tangan kecil yang ia tujukan padaku.

"Jagain Maureen ya, Bro," ucap Alex singkat lalu berjalan keluar. Klik, kudengar kini pintu kamarku sudah tertutup. Dan meninggalkan hanya aku dan Aldi di kamar dengan kondisi canggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar