Hari ini, sangat menyebalkan. Tugasku ditolak oleh dosen hanya karena telat setengah jam dari deadline! Kuakui memang salahku. Tapi yang benar saja! Aku sudah berlari-lari ke ruang dosen demi mengumpulkan tugas itu.
Dan alasanku hari ini terlambat adalah Kania! Sial! teriakku dalam hati, merutuki nasib burukku hari ini. Kalau saja bukan karena Kania mempunya ide bodoh untuk membawa mobil ke kampus, tentu aku tidak akan terjebak macet dan akan tiba di kampus lebih cepat. Kalau dengan motor tentu bisa nyelip sana sini.
Kulalui sisa hari ini dengan cemberut. Tak peduli bagaimana pandangan orang padaku hari ini. Teman-teman dekatku di kampus memang menyadarinya, mereka berusaha menghiburku, tapi tetap saja. Semua usaha mereka sia-sia. Saat ini, aku hanya ingin dihibur oleh Maureen. Mungkin dengan melihat wajahnya saja, moodku akan langsung melejit dari bad mood menjadi SUPER DUPER GOOD MOOD.
Kulangkahkan kakiku dengan malas ke arah parkir mobil kampus. Kulihat di sana Kania sudah menungguku. Kalau saja kemarin aku menolak ajakan Kania untuk menemaninya ke toko buku, pasti aku sekarang berada di tempat favoritku. Taman kampus, pohon besar tempat aku dan Maureen dulu sering bercanda, mengerjakan tugas, makan bersama. Kania melemparkan kunci mobilnya tepat ke arahku. Spontan kutangkap kunci mobilnya, lalu membuka pintu mobil.
Saat kulihat Kania sudah duduk manis di kursinya, aku menyalakan mobil.
"Kita ke toko buku biasa ya," ujar Kania dengan nada bicaranya yang membuatku gemas. Manja-manja seperti gadis yang tidak mandiri. Memang kuakui Kania baik, kebaikannya sebelas duabelas dengan Maureen. Namun semakin ke sini, semakin Kania menunjukkan sifat aslinya, semakin aku malas dengannya.
Tapi terpaksa aku masih meladeni Kania karena aku berhutang budi cukup banyak padanya. Kulihat dari maps, kalau jalur yang biasa kulalui untuk ke toko buku macet, segera kuputar setir untuk melalui jalur lain.
"Lex, kok kita lewat jalur ini?!" tanya Kania tiba-tiba dengan ekspresi panik.
"Loh, kenapa? Lewat jalur biasa macet, gua males kalau macet," jawabku santai sambil melirik handphoneku yang menunjukkan jalan lewat aplikasi maps.
"Tapi kan. Kita nggak buru-buru. Nggak apa-apa kan kalau macet?" tanya Kania lagi.
"Gua nggak suka macet, Kania. Jadi kalau lu mau bermacet-macet ria, boleh. Tapi jangan ajak gua," responku malas. Mengapa Kania ini lama-lama sangat bertolak belakang dengan Maureen? Kupikir kalau sahabat biasanya sifatnya mirip-mirip. Kania tidak lagi memprotes, tapi kini ia sibuk dengan handphonenya. Sepertinya ia menghubungi seseorang.
Kulajukan mobil Kania ke arah perempatan, setelah perempatan ini, tinggal belok ke kanan. Sudah sampai di toko buku. Kania semakin lama semakin gemas dengan handphonenya. Mungkin orang yang mau ia hubungi tidak dapat dihubungi? pikirku sambil mengetuk-ngetukkan jari ke setir.
Kulihat, sebentar lagi kami akan tiba di perempatan. Dan lampu lalu lintas menunjukkan kalau lampu hijau tinggal berlangsung 10 detik lagi. Tidak akan sempat, pikirku. Tapi aku tetap menyetir dengan cepat untuk mendapatkan baris paling depan. Kupelankan mobil yang kukendarai saat lampu sudah berubah menjadi warna kuning. Dan, tepat seperti perkiraanku, mobil ini ada di baris paling depan.
Sialnya, tak sampai tiga detik kemudian, motor-motor di belakangku menyusul dan memenuhi space kosong di jalan. Aku hanya melengos sambil mengambil handphoneku. Belum sempat aku fokus dengan handphoneku, kulihat Maureen di sisi kanan jalan, sepertinya ia mau menyeberang. Mungkinkah Maureen akan ke toko buku yang sama seperti yang aku dan Kania tuju?
Spontan saja, cemberut yang dari pagi betah di wajahku seketika hilang, tergantikan dengan senyum yang sangat lebar. Memang benar, saat ini memang hanya Maureen yang mampu menjadi mood booster-ku.
Maureen kini berjalan sambil mengangkat tangan kirinya, memberikan kode agar para pengendara berhenti dan membiarkannya lewat. Baru saja aku hendak membuka jendela mobil, tiba-tiba tanpa kusangka, sebuah mobil jazz melaju dengan sangat cepat di sebelahku.
Mataku seketika membulat. Sontak kuteriakkan nama yang selama ini masih terukir di hatiku.
"MAUREEENNN!" Aku tidak tahu sekeras apa aku berteriak. Aku hanya berharap Maureen mendengarnya. Namun sepertinya teriakkanku sia-sia. Aku baru saja mengedipkan mata, namun suara sesuatu tertabrak yang sangat keras sudah mendapai telingaku. Saat mataku terbuka, tubuh Maureen sudah mental di hadapanku.
"SIALAN!!" makiku lalu segera aku membuka pintu mobil, mengejar tubuh Maureen yang terpental akibat tabrakan mobil tadi. Aku tidak peduli dengan yang lain. Yang kupedulikan hanya Maureen. Tubuh Maureen terlempar agak jauh, bahkan sampai ke seberang jalan. Segera kurengkuh tubuhnya dengan gemetar. Aku tidak berani memeluknya erat-erat. Nanti dia semakin terluka. Semakin lama, semakin banyak orang mengerumuni kami. Dengan gemetar, tanganku mengetik nomor untuk memanggil ambulans.
Namun yang ada, handphoneku terlepas dari genggaman tanganku. Spontan aku berteriak meminta bantuan siapa aja untuk memanggil ambulans secepatnya. Seorang wanita berbaik hati membantuku, ia mengaku bahwa ia medis dan membantu merebahkan Maureen sambil memeriksa Maureen singkat dan memberikan napas buatan. Aku hanya memandangi wanita itu. Berharap bahwa ia memang benar biasa menjadi tenaga medis.
Kulongokkan kepalaku ke jalanan. Tapi mobil jazz tadi sudah hilang ditelan bumi. Sebelumnya kulihat beberapa orang meneriakinya agar berhenti. Tapi teriakan itu sepertinya tidak cukup keras untuk menghentikannya. Tabrak lari, sialan! Pengecut! Gua bakal nemuin lo! janjiku sambil kembali menatap Maureen yang masih tergeletak.
Tak kupedulikan sudah berapa banyak air mata yang jatuh dari mataku. Tak pernah kubayangkan melihat Maureen tertabrak seperti ini, bahkan terpental dan terluka sehebat ini. Syukurlah sesaat kemudian ambulans datang. Sempat kulirik sebentar ke arah mobil Kania yang kutinggalkan. Kulihat ekspresi cemberutku tadi sekarang berpindah ke wajah Kania.
Sebuah tanda tanya besar mencuat di otakku, Maureen kan sahabat Kania, saat ini Maureen kecelakaan parah! Tapi wajahnya malah kesal? Bahkan Kania tidak panik dan berusaha menolong sama sekali? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku, tapi aku segera mengenyahkan pikiran itu dan mengikuti tubhh Maureen yang ditandu masuk ke ambulans.
Sepanjang perjalanan, aku terus menerus memanggil nama Maureen, bahkan aku tidak tahu sudah berapa kali aku memanggilnya. Sejujurnya, aku takut melihat Maureen dengan darah bercucuran dari kepala dan badannya. Selama aku dengannya selama ini, tak pernah kubiarkan Maureen terluka, apalagi berdarah sampai sebanyak ini.
Oh Tuhan! Tolonglah Maureenku. Siapapun yang berani mencelakainya akan kuhabisi, siapapun itu. Dalam hati aku terus merapal doa yang sama. Setibanya kami di rumah sakit, para medis segera mendorong troli kasur Maureen ke ruang UGD.
Saat aku hendak mengikutinya, seorang petugas rumah sakit menghentikanku dan memintaku untuk mengurus administrasi sebentar. Sial! Di saat situasi seperti ini, masih haruskah mengurus administrasi yang sangat ribet itu? Takut aku tidak membayar? Yang benar saja! Tapi karena ini rumah sakit dan aku tidak mau mencari ribut, terpaksa kuikuti petugas itu dan dengan cepat-cepat, kuurus semua administrasinya. Untunglah dompet dan tas Maureen ada padaku sehingga keperluan seperti KTP dan kartu mahasiswa bisa kuserahkan.
Setelah urusan maha menyebalkan itu selesai, aku segera berlari ke ruang UGD. Ternyata Maureen sudah dipindah ke ruang rawat dan sedang diperiksa, dan tentu saja aku tidak bisa masuk ke ruang itu. Terpaksa aku menunggu di kursi panjang sambil menatap lalu lalang para dokter, suster, pasien, maupun keluarganya. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang sama. Bingung bercampur ngeri.
Aku mengerti. Dengan baju dan celana yang hampir seluruhnya tertutup warna merah darah, aku memaklumi tatapan mereka. Bahkan sejujurnya aku sudah bosan. Aku berdiri dan melongok dari kaca. Kurasa dokter dan suster sedang membersihkan luka Maureen, melakukan tes, dan melakukan operasi kecil. Entahlah aku kurang mengerti soal kedokteran. Dan kulalui satu setengah jam ini hanya di depan ruangan Maureen. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik dari posisi duduk lalu berdiri, mengintip kinerja para dokter, lalu duduk lagi. Mataku sudah sangat berat dan ingin tidur, tapi otakku tidak. Kejadian tadi masih terus terbayang dalam pikiranku.
Setelah empat jam aku menunggu, para dokter dan suster keluar dari ruangan. Aku segera mengokohkan tubuhku dan menghampiri mereka. Sang dokter mengisyaratkanku untuk mengikutinya sebentar. Rasanya tak rela meninggalkan Maureen, tapi meskipun aku memaksa, aku tahu aku tidak bisa masuk walau hanya untuk melihat Maureen untuk saat ini.
"Jadi, kamu siapanya?" tanya sang dokter sambil mengaktifkan laptopnya.
"Saya..." aku terdiam sejenak. Aku ini siapanya? Tidak mungkin aku berkata kalau aku ini pacarnya? Secara status kami sudah tidak pacaran. Apalagi kalau aku bilang bahwa aku ini mantannya. "Saya Alex, saya ini kakaknya," itulah keputusan terbaik yang muncul di kepalaku.
"Baiklah, saya mau menunjukkan sesuatu," ucap sang dokter lalu meraih pulpennya, dan mengarahkan ke layar laptopnya. Kulihat gambar hasil ronsen tubuh Mauren dari pinggang ke batas leher.
"Kamu lihat? Saya menduga saudari Maureen ini kecelakaan dari sebelah kiri. Ginjal kirinya pecah akibat tabrakan tadi. Saya dan suster sudah mengangkatnya. Sesuai dengan surat yang kamu tanda tangani tadi, karena ini kondisi darurat, kami melakukan operasi dadakan. Namun kami hanya mampu mengangkat ginjal Maureen, dan belum menemukan donor pengganti ginjalnya. Kedua," sang dokter memperlihatkanku gambar lain, kini gambar tulang kakinya. "Lagi-lagi bagian kiri, tulang betis dan tulang kering Maureen patah. Patah tulang ini dapat sembuh dalam beberapa minggu, sesuai dengan kondisi tubuh Maureen. Dan satu lagi," kini sang dokter memperlihatkan padaku hasil ronsen kepala Maureen.
"Bersyukurlah luka di kepalanya tidak terlalu parah. Maksud saya tidak separah luka lainnya. Ada retakan kecil di kepalanya, kalau boleh saya tanya, apakah saudari Maureen jatuh dengan kondisi kepala terlebih dahulu?"
Aku masih mencerna semuanya. Maureenku, terluka sangat parah. Dokter itu berbohong, 3 luka dalam di satu tubuh?! Tentu saja semuanya luka parah!
"Saya tidak melihatnya.." jawabku pelan. Sudah tak lagi kutahan air mataku yang jatuh. Sang dokter berinisiatif memberikan tisu padaku.
"Saya masih harus melanjutkan penjelasan saya. Kami semua akan berupaya agar saudari Maureen bisa sembuh total. Saudari Maureen sudah masuk ke daftar nama orang yang membutuhkan donor ginjal, namun saya tidak tahu kapan akan terpenuhi. Alangkah baiknya jika saudara Alex membantu mencarikan donor untuk saudari Maureen," jelas sang dokter. Aku hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya bukan pasrah, tetapi lemas. Fisikku lemas, pikiranku seperti mandeg.
"Saya akan terus memberitahukan kabar terbaru soal adikmu ini, boleh saya minta nomor teleponmu atau nomor telepon orang tuamu agar bisa saya hubungi secepatnya?" Lagi-lagi aku hanya menggangguk, mengambil pulpen yang disodorkan oleh sang dokter, dan menulis nomor teleponku serta nomor telepon mamanya Maureen. Sang dokter tampak mrnyimpan kertas berisikan nomor telepon tadi ke dalam folder dokumennya, dan mempersilakanku untuk ke ruang rawat Maureen.
Aku berjalan lemas. Rasanya otot-otot di kakiku sudah tidak bertenaga. Hanya tulang kakiku yang masih menopang tubuh ini. Aku rasanya bukan berjalan, tapi menyeret paksa kakiku. Semuanya begitu mendadak rasanya. Semua emosi tercampur di hatiku. Marah, geram, kaget, khawatir, bingung, pasrah, dan. Takut kehilangan.
Aku memutar hendel pintu dengan sangat perlahan. Aku takut membangunkan Maureen, meski kutahu dia belum siuman. Perlahan kuambil kursi lipat dan menaruhnya di samping kasur Maureen. Kugenggang tangan kecilnya. Tangan yang selama ini aku rindukan. Selang-selang berjuntai, memberikan bantuan oksigen untuknya, hanya untuk sementara ini. Kutatap wajahnya yang terbaret-baret akibat terpental tadi.
Pipinya kini ada bekas luka, pipi yang dulu sering kucubit saking gemasnya. Rambutnya terjuntai panjang, memang rambutnya terikat dan sedikit acak-acakan. Matanya yang dulu selalu menatapku dengan tatapan penuh sayang, kini terpejam erat, seolah enggan membuka meski hanya untuk melihatku yang kini duduk termangu di sampingnya.
"Rin, ini aku. Maaf aku terlalu banyak nyakitin kamu," ucapanku terhenti seketika. Aku segera menghapus air mataku yang jatuh. Aku bukanlah tipe laki-laki yang suka menangis, ataupun membuat seorang wanita menangis. Tapi kali ini, air mataku tak dapat kubendung lagi.
"Rin, aku masih sayang kamu. Masih bener-bener sayang kamu." Genggaman tanganku semakin erat, meski genggaman ini tak berbalas. "Aku bodoh, malah ninggalin kamu karena aku egois. Cuma karena aku sakit, tapi aku milih ninggalin kamu supaya kamu nggak sedih kalau aku pergi."
Kuusap kembali mataku yang tak tahan membendung air mata. Aneh rasanya, belum pernah aku menangis seperti ini sebelumnya. Aku kembali menegakkan kepalaku, menatap kembali wajah Maureen yang tampak sangat tenang.
"Rin, kalau kamu dengar suara aku. Aku cuma mau bilang kalau aku sayang kamu. Dan aku nggak bohong, -"
Tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu. Terpaksa kulepaskan genggaman tanganku pada Maureen, dan beranjak dari kursiku. Perlahan kuputar hendel pintu, mataku terbelalak mendapati beberapa petugas polisi di hadapanku.
"Permisi, saudara Alex? Kami ingin Anda ikut ke kantor polisi sebagai saksi dari kecelakaan ini. Beberapa saksi mata lain sudah kami interogasi dan kami sudah menemukan tersangka utamanya," seorang polisi bertubuh gagah dan suara nge-bass berbicara padaku. Aku masih terpaku di tempatku. "Kami mohon agar saudara Alex bekerja sama dengan kami," ucap sang polisi lagi. Seketika aku baru menyadari kalau polisi itu berkata bahwa mereka sudah menemukan tersangka utama.
Akan kuhajar kau sampai sekarat! gumamku dalam hati sambil mengangguk pada polisi itu.
"Sebentar pak, saya mau mengambik tas dulu," ucapku lalu kembali masuk ke kamar Maureen. Kuraih tasku lalu berpamitan pada Maureen.
"Rin, aku pergi dulu sebentar. Aku mau menghajar orang yang nyakitin kamu, jaga diri kamu ya," pamitku pada Maureen.
To be continued...
Pesan Mimin : Sebentar lagi UP lagi kok, ehehehe.. Biar ngga kepanjangan jadi mimin bagi 2
Stay tune on A.M. Diary <3
Recommended For You
Senin, 11 September 2017
A.M. Diary - Alex Story Day 32 (part 1)
by
Bella Regina
You May Also Like: AM Diary,
story
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagus ceritanya
BalasHapusgomawo :))
Hapustinggalkan jejak dulu sebelom baca..
BalasHapus;)
Hapus