Selasa, 19 September 2017

A.M. Diary - Alex Story Day 38

 Panggilan untuk masuk ke pesawat terdengar ke telingaku. Spontan kumatikan handphoneku dan menggendong tas ranselku masuk ke dalam pesawat. Tak sulit menemukan kursiku, aku langsung duduk dan menaruh ranselku di depanku.

Ini sudah dua hari sejak aku bicara dengan Maureen secara langsung. Aku masih bisa merasakan pelukannya. Rasanya permintaannya untuk memelukku terus teringiang-ngiang di kepalaku. "Boleh aku meluk kamu?"

Akulah yang harusnya minta itu, batinku dalam hati sambil memandang keluar jendela.

Hari ini, aku harus check up perkembangan jantung baruku. Ini sudah seminggu lebih aku terlambat dari jadwalku seharusnya. Apalagi akhir-akhir ini, aku terus mengurusi kasus kecelakaan Maureen. Terus terang, jantungku belum boleh bekerja terlalu banyak, tapi aku tidak bisa tinggal diam. Apalagi kalau itu menyangkut Maureen. Si Donny sialan itu, sudah dikurung penjara. Tapi karena dia anak orang kaya, dan punya pengacara cukup hebat, maka masa tahanannya hanya dua bulan dan ganti rugi.

Hakim memutuskan hukuman seringan itu. Yang benar saja?! Ini pembunuhan, hanya mungkin gagal. Gila! Tapi aku mau tidak mau menerimanya. Setidaknya, selama dua bulan, Maureen akan aman dari ancaman Donny. Tapi aku masih bingung dengan perkataan polisi waktu itu. Ada dalang di baliknya? Tapi kenapa tidak diusut si dalang ini? Bukankah dia yang lebih berbahaya?

Aku kembali menengok ke jendela pesawat dan pikiranku kembali melayang ke masa lalu. Waktu kami lulus SMA, aku, Maureen, dan teman segeng kami pergi jalan-jalan ke Bali dengan pesawat. Saat itu adalah pengalaman kedua Maureen naik pesawat, pertama kalinya waktu ia masih bayi. Maureen begitu takut sewatu take off dan dia terus menggenggam tanganku erat sampai berkeringat. Tapi ia begitu senang ketika bisa melihat awan dan perkotaan yang tampak sangat kecil dari balik kaca.

Aku ingat waktu itu dia bilang, "Aku mau naik pesawat sama Alex lagi, biar aman." Begitulah katanya sambil memberikan senyuman khasnya yang bisa membuatku rasanya jatuh cinta lagi dan lagi.

Kubuka ranselku. Langsung kutemukan dengan mudah diary Maureen yang ikut kuisi dalam sebulan ini. Perlahan kubuka lembar yang masih kosong.

Rin, kabar kamu gimana? Udah ngerasa lebih baik kan? 
Maaf ya, setelah dua hari yang lalu aku akhirnya bisa ngomong lagi sama kamu, bahkan meluk kamu, aku terpaksa menghilang dari hadapan kamu, Rin. 

Aku harus check up lagi, dan kali ini dipantau selama entah berapa lama karena aku kemarin bandel gamau check up. Ini rahasia ya, Rin. Kemarin sebenernya pas aku ketiduran di samping kamu, jantung aku udah kecapekan. Jantung aku rasanya lagi sakit banget karena udah bekerja terllau banyak sementara jantung baru aku masih adaptasi sama tubuh aku. Tapi pas aku meluk kamu, aku langsung ngerasa kayak semua capek aku, sakit aku ilang. Nguap gitu aja :)

Tau nggak, aku sebenernya lega lega nggak ninggalin kamu kayak gini. Aku lega karena aku dapet kabar kalau kamu udah dapet donor ginjal yang cocok. Tadinya aku mau donorin ginjal aku, taunya aku dilarang keras dan malah dimarahin dokternya karena dia tau aku baru cangkok jantung. Sedih banget waktu tau aku nggak boleh donor. Tapi aku seneng karena donor ginjal buat kamu cepet tersedianya :)

Tapi aku takut, aku takut operasi kamu nggak berhasil :'(

Rin, satu hal lagi, ini juga rahasia ya. Aku bukan super hero kamu. Kalau kamu tau aku ini cuma cowok lemah yang jantungnya lemah. Yang ga boleh terlalu capek, bahkan nggak bisa donorin ginjalnya sendiri buat orang yang dia sayang. Aku nggak pantes kamu sebut super hero. Bahkan pas kemarin aku bilang kalau aku super hero kamu, aku tau aku nggak pantes ngomong kayak gitu. Karena aku nggak kuat, Rin. 

Doain aku cepet sembuh dan kuat lagi supaya aku bisa jadi super hero kamu ya :))
Aku juga berdoa supaya kamu cepet sehat lagi, masuk kampus lagi. Dan aku? Aku akan ngeliatin kamu bahagia sama orang lain dari tempat favoritku. Pohon tengah taman kampus :')

19/9/2017 - 13.54
Alex yang lagi di pesawat

Kututup pulpenku dan kumasukkan ke sela-sela buku diary-ku. Kumasukkan lagi ke dalam tas ranselku. Setelah buku diaryku masuk, kurogoh lagi tasku. Got it! Kubuka halaman buku novelku sesuai dengan halaman yang kutandai. Aku bukanlah tipe cowok pecinta novel, tapi aku suka novel ini. Pertama, karena Maureen juga suka novel ini. Kedua, karena isi ceritanya tidak sembarangan, benar-benar kompleks, membuat otakku ikut berpikir, banyak berisi tentang science, jadi hitung-hitung menambah pengetahuanku, juga bukan novel dengan romansa yang menye-menye. Romance dalam novel ini hanya sisipan, tapi cukup membuatku ikut terbawa dalam perasaan para tokoh.

Bagiku, novel ini lebih baik daripada genre-genre lainnya. Dalam hitungan menit, aku sudah tenggelam dalam cerita. Bahkan sampai aku tidak mendengar pemberitahuan dari sang pilot.

Tiba-tiba kurasakan guncangan hebat! Aku segera menengok ke arah penumpang lain. Wajah mereka sudah panik. Kulihat lagi seorang pramugari tergesa-gesa berlari ke arahku karena melihatku belum memasang sabuk pengaman dan masker oksigen.

"Sir! Please use your savety belt and your mask!" perintah pramugari itu, juga dengan wajah panik. Aku seperti lumpuh seketika, rasanya tubuhku seperti tak bisa bergerak sekalipun aku mau. Apa yang terjadi? Pikirku. Penumpang di sampingku mengguncangku, lalu dengan gemas ia memasangkan sabuk pengaman untukku dan menarik masker oksigen dari atas.

Aku kini menatap tubuhku yang sudah terikat dengan bangku oleh karena savety belt ini. "Thank you, Miss," ucapku pelan. Tak lama, kembali kurasakan sebuah guncangan hebat, spontan kami semua ikut berguncang. Bahkan sempat kudengar jeritan seorang wanita.

Oh, Tuhan. Jangan jadikan hari ini hari terakhir hidupku. Aku masih ingin melihat Maureen, meski hanya sekali, batinku pasrah. Kudengar bahwa cuaca buruk tiba-tiba menghadang. Ya, aku kini di dalam pesawat, di tengah badai.

Tiba-tiba, gendang telingaku rasanya dipukul dengan kerasnya. Petir menyambar sayap kanan pesawat. Spontan setelah suara petir itu, telingaku berdenging dengan hebatnya. Aku segera menutup telingaku, berharap dengingan itu akan hilang. Tapi nihil, telingaku tetap berdenging.

Baru saja satu kedipan mata, kini aku melihat kobaran api di sayap kanan pesawat dari kaca. Suara teriakan panik para penumpang makin keras terdengar di tengah suara dengingan di telingaku yang masih belum berhenti. Meski badai cukup besar, tapi rasanya tak mampu memadamkan api di sayap kanan pesawat ini.

Pemandangan di luar hanya awan kelabu pekat dengan cahaya  yang kadang menyambar di kejauhan. Serta cahaya merah menyala yang menjadi dominan. Bahkan rasanya aku tak bisa membedakan di mana aku sekarang. Di atas daratan atau lautan?

Jantungku berdetak semakin cepat seiring dengan produksi hormon adrenalinku yang meningkat drastis. Tanganku tepat berada di dadaku, kudekap dadaku sekuat mungkin, berharap degup jantungku akan melambat.

Tiba-tiba langit rasanya semakin terang. Awan kelabu itu hilang! Kami berhasil menembus badai! Namun, kekhawatiran diriku belum usai karena sayap pesawat masih terbakar dan tentu saja hawa panas perlahan-lahan menjalar ke dalam kabin pesawat. Juga menyebabkan pesawat rasanya agak timpang. Sayap kanan terbakar makin parah.

Baru saja aku mau bernapas sedikit lega. Aku merasa seperti naik rollercoaster. Pesawat yang kutumpangi terbalik dan berputar-putar. Membuat seluruh barang penumpang terbang seolah gravitasi sudah menghilang, tas ranselku ikut terlempar entah kemana. Aku hanya bisa menutup mata sambil terus berdoa. Kepalaku rasanya makin pusing dan aku ingin muntah.

BBRRUUAAAAKK!!! Kurasakan savety belt-ku terlepas dan tubuhku terlempar entah kemana. Perlahan kucium bau amis darah, darah mengalir dari dahiku. Kubuka mataku namun separuh mataku tertutup darah dan pandanganku jadi merah. Terpaksa aku hanya bisa membuka sebelah mataku.

Satu hal yang kusyukuri, pesawat ini jatuh di daratan, kemungkinan untuk selamat lebih banyak! Dan entah bagaimana caranya, aku terlempar keluar dari pesawat. Kulihat kaca-kaca pesawat sudah pecah, pintu masuk pesawat juga lepas entah kemana, juga bagian-bagian pesawat lain hangus dan hancur berat. Kulihat sekelilingku, sepertinya ini jalur pacuan pesawat landing. Kulihat sekelilingku, ada beberapa penumpang lain yang terluka.

"AHHH!" Saat aku mencoba berdiri, kurasakan sakit teramat sangat dari kaki kiriku. "Sial!" makiku pada diri sendiri dan sekuat tenaga bangkit. Kubantu beberapa penumpang yang terluka agak parah untuk menjauh sejauh mungkin, aku takut sewaktu-waktu pesawat akan meledak. Ada beberapa penumpang lain membantuku dan ikut berlari denganku masuk ke pesawat yang masih terbakar. Kulihat pramugari dan beberapa penumpang berusaha untuk keluar.

Segera kubantu mereka sambil aku masuk ke dalam pesawat. Asap mengepul di dalam kabin. Kugunakan jaketku sebagai masker untuk menutup hidung dan mulutku. Aku mencari-cari ranselku. Bukan karena apa-apa. Salah satu hartaku di sana, diary dari Maureen, itulah hartaku. Gotcha! Kulihat ranselku di ujung kabin.

Tapi tiba-tiba kudengar tangisan anak kecil. Kulupakan tasku untuk sementara dan berlari ke arah sebaliknya. Dengan pandangan yang terbatas, dan dengan kemampuan indera pendengaranku yang tersisa, kucari anak itu. Semakin suara tangis itu keras terdengar, artinya aku semakin dekat. Itu dia! Anak itu terjepit dan tak bisa terlepas dari savety beltnya. Di sampingnya ada pisau buah, segera kuraih pisau itu, tak peduli dengan fungsi seharusnya. Suara tangis anak itu semakin kencang seiring dengan kobaran api yang semakin mendekat.

Dengan brutal, kupotong savety belt yang masih membelitnya. Sial! Pisau ini tidak terlalu tajam, terpaksa aku terus memotong savety belt dengan tenagaku yang tersisa. Terlepas! Segera kubalut anak ini dengan jaket kulitku. Jaketku kulit asli, minimal anak ini sedikit anti api. Aku segera menggendongnya dengan posisi yang tak dapat kudefinisikan. Setelah dekat pintu keluar, aku menyuruhnya lari keluar sendiri, sementara aku masih harus mengambil ranselku.

Jaketku yang sebelumnya bisa menutup hidung dan mulutku sudah tidak ada. Pandanganku mulai buram, asap semakin pekat. Aku hanya fokus dengan ransel hitamku di ujung sana. Kukibas-kibaskan tanganku dengan harapan bisa menghalau asap di hadapanku.

KRAK! Terdengar suara sesuatu. Aku segera menoleh. Sayap kanan pesawat sudah putus! Bisa jadi api sudah menyambar mesin pesawat. Aku mempercepat jalanku yang sudah terseok-seok karena kakiku yang mungkin patah atau sejenisnya. Kuraih tasku dan segera kupakai seadanya karena tasku sudah putus sebelah talinya. Saat aku sudah dekat dengan pintu keluar, aku melihat seorang bayi yang sepertinya pingsan, atau mungkin sudah kehilangan nyawanya karena menghirup terlalu banyak CO2. Segera kupaksakan kakiku mendekati posisi bayi itu. Benar, bayi ini sudah tak bernyawa. Kupeluk bayi itu sambil terus melangkahkan kakiku keluar pesawat.

Minimal, keluarganya bisa melihat bayi mereka untuk terakhir kalinya, pikirku sambil terus berusaha menghalau asap. Meski kudengar suara sirene pemadam kebakaran dan suara guyuran air, tetap saja asap di dalam masih pekat sekali.

Oh Tuhan! Pintu keluarku terhalang oleh api yang sudah menyala-nyala. Kulihat bayi di gendonganku, wajahnya sudah tentram, bahkan bayi ini seperti tersenyum. Dengan sisa tenagaku, aku memeluk bayi ini dan melompat keluar. Seketika kurasakan panas menyambar tubuhku. Benar saja, celana dan tasku tersambar api!

Dengan keadaan di luar yang penuh dengan suara bising sirene, juga kilau lampu dari mobil polisi, aku berlari meski di tiap langkahku, kutahu luka di kakiku semakin parah. Kulihat ada beberapa orang yang langsung menghampiriku dengan tergopoh-gopoh. Mereka keluarganya, pikirku. Langsung kuserahkan bayi itu ke tangan mereka. Tepat setelah au menyerahkan bayi itu, tenagaku habis sudah. Kurasakan semua tubuhku ambruk ke aspal yang keras.

Dan semuanya menjadi hitam.

Ps ; tetap nantikan lanjutan cerita A.M. Diary yaa, laff laff for all readers :))

Buat yang sebelumnya udah baca, maap ya mimin banyak typo, suka ngga nyadar.. Sekarang udah diedit kok :))
Thank you for reading :)
-mimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar