Minggu, 10 September 2017

A.M. Diary - Kania Side

Sudah berapa lama ini?! Janjian jam 1 di lobi kampus, sudah dari jam 1 kurang aku menunggu di sini.. Bahkan pertemuanku dengan Donny diundur beberapa hari karena Donny sangat sibuk, katanya. Dan sekarang jam sudah jam 2?! Yang benar saja. Hidupku bukan hanya untuk bertemu si Donny itu!

Gerak-gerik tubuhku sudah sangat menunjukkan kalau aku sudah tidak sabar. Sangat tidak sabar, tiap menit aku melirik jam tangan yang bertengger di lengan kiriku. Bahkan aku sudah berkali-kali menelepon Donny, tapi tidak diangkat. Ini diskusi penting! Sangat penting! Karena tentu saja, pertemuanku dengan Donny menentukan hubunganku dengan Alex selanjutnya.

Kuketuk-ketukkan sepatu wedges 3 senti-ku ke lantai marmer lobi. Aku bahkan lupa, sudah berapa kali aku celingak-celinguk mencari sosok Donny di sekitar sini. Aku memutuskan untuk meneleponnya sekali lagi. Terdengar nada sambung.
"Angkat, Donn. Cepetann," gumamku gemas dengan handphone yang masih dengan nyamannya bertengger di telingaku.

"Nyari gue?" Tiba-tiba aku mendengar suara dari seberang, tapi sekaligus suara itu berasal dari belakangku. Aku segera menoleh ke belakang. Aku langsung menatapnya lurus-lurus. Ya, benar. Mukanya sama dengan foto yang temanku kirim, tidak salah lagi, gumamku dalam hati. Segera aku melangkah mendekatinya. Dan menginjak kakinya keras-keras.

"Aaaarghhh!" teriak Donny seketika. Dan seketika itu pula, suasana lobi yang sebelumnya sepi, kini ramai dengan bisik-bisik. Tentu saja mereka membicarakan soal teriakan Donny yang suaranya tak kalah keras dari suara toa masjid. Segera aku menyeretnya keluar dari lobi.

•••

"Silakan, ini pesanannya. Selamat menikmati," ucap sang pelayan sambil menaruh pesananku dan Donny. Donny langsung menyeruput es jeruk pesanannya. Mungkin tenggorokkannya seret karena teriak di lobi tadi? Pikirku jahil.
Aku pun ikut menyeruput Ice Thai Tea pesananku.

"Jadi, lu udah tau kan kenapa kita ketemuan?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Heh, yang gua tau cuman karena ini ada hubungannya sama Maureen," jawab Donny dengan wajah kebanggannya. Wajah belagu.
"Nggak usah sok belagu di depan gue deh. Gue udah tau semuanya tentang lu, Donn," jawabku lagi, kini dengan ekspresi kebanggaanku pula. Ekspresi dingin.

"Huft, okey gua ngalah. Kasih tau rencana lu buat jadiin Maureen milik gua. Masalah Alex, itu urusan lu. Tapi yang pasti, gua nggak mau bonyok lagi karena si Alex sialan itu," jawab Donny sambil memotong tenderloin steaknya. Mataku sontak memicing. Apa yang baru kau katakan, Donny? batinku dalam hati.

Siiingg.. Spontan aku mengacungkan pisauku yang sebelumnya kupakai untuk memotong daging steak. Sontak Donny melebarkan matanya, ia tentu saja terkejut dengan reaksiku.
"Apa-apaan ini?" tanyanya dengan suara rendah.
"Tadi lu sebut Alex apa?" jawabku masih dengan ekspresi yang sama.
"Oke oke, gua minta maaf. Sekarang lebih baik kita makan dengan tenang, lalu melanjutkan urusan maha penting kita," jawab Donny dengan wajah memelas sambil menurunkan tanganku yang masih teracung di depan mukanya.
"Bagus, permintaan maaf lu gue terima," jawabku lalu kembali menggunakan pisauku untuk memotong daging steak-ku yang sempat teralihkan tugasnya.
Kudengar Donny mengomel-ngomel kecil pada dirinya sendiri. Tapi celotehannya kali ini tidak aku hiraukan. Aku buru- buru menyelesaikan urusanku dengan steakku ini, lalu aku mengambil buku notesku.

Kucoret-coret asal bukuku. Sebetulnya, coretanku tidak benar-benar asal. Coretan kasar rencanaku untuk mendapatkan Alex. Kulirik Donny, tampaknya ia sudah selesai dengan makanannya. Lalu kuserahkan buku notesku padanya.

Donny mengelap mulutnya, lalu menerima buku dariku. Mata sipitnya seketika membulat melihat rencanaku.
"Lu gila ya?!" responnya geram.
"Loh, emangnya kenapa? U can be her hero," jawabku santai lalu menyeruput minumanku yang tersisa setengah.
"Gila! Rencana macam apa ini?!" protes Donny lalu mengembalikan buku notesku.
"Hey, gua nggak gila. Denger ya, denger baik-baik. Rencananya nggak seburuk pikiran lu, kok. Gua bakal ngerencanain waktu di mana Maureen pergi nanti. Setau gua, senin nanti, Maureen bakal pergi ke tempat deket kampus yang tinggal nyebrang, lu tabrak dia pas di tempat nyebrang nanti. Karena lu yang nabrak, lu yang tau dong tingkat keparahan dari kecelakaannya nanti. Setelah itu, lu kabur, then datang sebagai cowok yang nyelamatin Maureen. Gimana? Maureen pasti bakal berutang budi sama lu, dan dia bakal mau dong sama lu. Alex bakal hilang harapan dengan Maureen. Dan dia beralih sepenuh hatinya buat gue. Toh, emang Maureen dan Alex nggak ada harapan buat bersama lagi," jelasku sambil memotong-motong red velvet cake yang kupesan sebagai dessert. Mata Donny masih membulat. Aku heran, apa dia tidak takut matanya kelilipan sesuatu? Tapi sudahlah, aku tidak peduli soalnya.

"Jadi bagaimana? Deal?" tanyaku santai dan memasukkan sepotong kue red velvet ke dalam mulutku.
"Deal dari mana? Yang benar sajaa!! Itu gila! Dan gua nggak mau. Alex bisa ngebunuh gua! Gua bisa dipenjara asal lo tau!" teriak Donny anarkis lagi. Dalam hati, aku hanya menertawakan sikap Donny. Bodoh sekali dia, berteriak-teriak begini membuatnya ketahuan sebelum beraksi. Cowok bodoh.

"Hey, gua nggak bodoh. Gua punya banyak koneksi di mana lu nggak bakal masuk penjara, lu nggak bakal ketahuan Alex, pokoknya lu tetep aman," ucapku agar ia tetap mengikuti rencanaku.
"Huft, asal Maureen bakal jadi milik gua, oke. Gua mau ikutin rencana lu. Kirimin semua detailnya ke email gua.  Dan gua gamau tau, kalau rencana ini gagal, lu yang harus tanggung jawab," ancam Donny lalu memanggil pelayan untuk meminta bill. Belum sempat pelayan datang, kutaruh dua lembaran seratus ribuan di hadapannya.

"Nggak akan gagal," ucapku lalu meninggalkannya. Yes. I got you, stupid man! batinku dalam hati sambil menyunggingkan senyum andalanku. Besok adalah eksekusinya. Semangatku seketika terbakar. Tentu saja pelaku tabrak lari akan ketahuan, bodohnya dia. Sekalipun disembunyikan sehebat apa pun. Tapi aku, dalangnya. Akan menyembunyikan diri di balik topeng rapat-rapat.

•••

Agar Alex tidak melihat kejadian besok, tentu aku mengajaknya pergi jauh dengan mobilku. Alex tidak akan tahu apa-apa.

"Halo, Lex?" sapaku dengan ramah melalui telepon.
"Kenapa menelepon?" tanya Alex dengan cuek. Seperti biasanya.
"Besok bisa nemenin gua pergi ke toko buku nggak? Besok gua yang jemput lu, pake mobil," pintaku pada Alex. Dan jawaban Alex seperti ekspektasiku.
"Yaudah, oke," jawab Alex singkat lalu menutup telepon tanpa sempat aku mengucapkan sepatah kata apapun sebagai balasan.
Sipp, Alex sudah masuk ke dalam rencanaku. Donny juga sudah. Tinggal eksekusinya saja. Sesampainya aku di rumah, segera kubuka laptopku. Mengetik setiap detail yang harus Donny lakukan besok, dan mengirimkannya lewat email.

Tak sabar menanti hari esok, gumamku pada diri sendiri lalu merebahkan tubuhku ke kasur.

1 komentar: