Sabtu, 09 September 2017

Backstabber (3)

Alika senang dan bersyukur sekali. Ia senang karena setelah jalan-jalan berempat seminggu yang lalu, ia jadi lebih dekat dengan Hans, dan juga bersyukur karena Sella sangat membantunya, apalagi jalan-jalan kemarin itu memang sangat efektif.

Tapi justru setelah jalan-jalan, Sella sudah tidak pernah mengabari Alika soal Hans. Alika merasa agak aneh dengan perubahan sikap Sella, tapi ia selalu berusaha untuk positif thinking pada sahabatnya itu.

"Sella.. Hai," sapa Alika agak kikuk. Ia sekarang agak bingung kalau ingin mengobrol dengan Sella. Rasanya ada jarak yang sangat jauh di antara mereka. Sella menoleh sesaat, lalu melambaikan tangan pada Alika. Dan berlalu. Alika memiringkan kepalanya, ia bingung, apakah dia benar Sella? tanyanya pada diri sendiri.

•••

Bel tanda istirahat pertama sudah terdengar, tapi Alika masih belum beranjak dari kursinya. Ia belum selesai menyalin catatan dari papan tulis.
"DOOORRR!" Tiba-tiba Alika merasa seperti petir menyambar kedua bahunya. Saking terlonjaknya, bahkan pensil yang dipegang Alika terlempar. Alika segera menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Nino sedang cengar cengir ditambah dengan wajah tanpa dosanya.
"Iiiihh Nino mah, ngagetin aja tau ga?" protes Alika.
"Maaf atuh Alika. Da Nino kan bercanda," jawab Nino sambil mengambil kursi di sebelah Alika.
"Alika, Nino mau ngomong sesuatu," ujar Nino. Alika sontak menoleh, kini wajah Nino sudah menunjukkan wajah serius, bukan lagi wajah polos seperti biasanya.

"Ngomong apa, Nino?" tanya Alika dan menghentikan kegiatannya.
"Alika yakin Sella beneran bantuin Alika buat deket sama Hans? Kok Nino liatnya justru Sella yang pdkt sama Hans?" tanya Nino hati-hati.
"Masa sih, Nino?"
"Iya, Nino sih liatnya begitu. Waktu kita pergi jalan-jalan kemarin, Nino liat Sella lagi stalking medsosnya Hans, terus senyum-senyum gitu. Terus buka-buka chatnya sama Hans. Senyum cewek yang lagi suka gitu, Ka," jawab Nino lagi. Alika sangat kaget dengan apa yang didengarnya. Rasanya Alika tidak ingin percaya. Tapi Alika sendiri bingung, siapa yang harus ia percaya?

"Nino yakin?" tanya Alika sekali lagi.
"Iya, Ka. Nino nggak bohong, mungkin nanti Alika ngobrol sendiri sama Sella," jawab Nino dengan wajah bersungguh-sungguh. Mau tidak mau, Alika mempercayai Nino, meski Nino suka bercanda, tapi Nino tidak uka berbohong dan Alika tidak melihat kebohongan di mata Nino.

•••

"Aku pulang." Alika melepaskan sepatunya, lalu menaruhnya di rak. Setelah Nino memberitahukannya soal Sella, tentu Alika kecewa. Sangat kecewa. Semuanya rasanya terlalu cepat untuknya. Baru saja seminggu yang lalu mereka jalan-jalan bersama, baru saja Alika memiliki harapan untuk bisa dekat dengan Hans.

Alika baru saja merasa semuanya berjalan lancar.. Tiba-tiba ia dikabarkan sebuah pengkhianatan. Tapi tentu saja Alika belum bisa memastikannya.

"Ah, soal Sella kukesampingkan dulu. Tidak mungkin Nino berbohong. Tidak mungkin Sella mengkhianatiku, kan?" Alika diam sejenak. Tentu saja hanya ada 1 yang benar. Apakah Nino yang berbohong? Atau Sella yang memang mengkhianati dan mengingkari janjinya untuk tidak menyukai Hans?

Semakin larut dalam pikiran, semakin Alika merasakan sakit di kepala belakangnya. Akhirnya Alika memutuskan untuk melupakan sejenak masalah ini dengan sebuah tekad, bahwa ia akan menemukan kebenarannya.

Esoknya, Alika sudah lebih bersemangat karena kemarin ia mengobrol dengan Hans lewat video call. Alika bahkan sampai ketiduran saking asyiknya mengobrol dengan Hans.

Ketika Alika melewati kelas Hans, tampak dari pintu, Sella sedang mengobrol berdua dengan Hans! Hanya berdua. Apakah yang dikatakan Nino memang benar? Rasanya Alika tidak ingin percaya. Tapi yang dilihatnya sudah seperti bukti nyata.

"Nggak, ga boleh negatif thinking sama temen sendiri, Ka. Harus positive thinking," ujar Alika pada dirinya sendiri sambil berlalu dari kelas Hans.

•••

Dan hari-hari berikutnya, menjadi semakin sulit untuk Alika. Sella jadi sering ke kelasnya, sekadar untuk melihat Hans yang sering bermain ke kelas Alika saat istirahat. Tapi Sella rasanya semakin tidak membantu Alika untuk dekat dengan Hans. Malah Sella seperti sengaja membuat jarak antara Alika dengan Hans.

Dan hari ini, mungkin adalah puncaknya.

Alika masih berkutat dengan buku catatannya. Setelah istirahat kedua, akan ada ulangan Kimia dan masih banyak yang Alika belum mengerti. Sudah beberapa kali Alika bolak-balik membuka catatan-soal-buku latihan. Begitu terus. Pasalnya, istirahat hanya 20 menit dan Alika tidak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhirnya untuk belajar. Namun, seseroang menginterupsinya belajar.

"Ka." Sebuah suara dingin menyapa indera pendengarannya, namun nadanya sama sekali bukan nada menyapa seseorang. Terpaksa Alika mengalihkan perhatiannya kepada orang yang memanggilnya. Hans! Ada apa Hans ke sini? Jarang sekali, pikir Alika sambil menatap Hans bingung.

"Ikut gua keluar sebentar, Ka. Ada yang mau gua omongin," ajak Hans, dengan nada memaksa.
"Tapi aku lagi belajar, nanti aja bisa nggak Hans?" tolak Alika dengan terpaksa, ulangan Kimia untuk saat ini lebih penting daripada Hans.
"Huft, oke. Pulang sekolah lu jangan langsung pulang ya, Ka. Gua nanti ke kelas lu begitu bel," jawab Hans lalu meninggalkan Alika. Meski lega karena Hans tidak membicarakan hal buruk padanya. Tapi akibatnya, sekarang Alika tidak bisa fokus belajar, bahkan saat ulangan Kimia, Alika sempat melamun sebentar sebelum disenggol oleh temannya untuk kembali mengerjakan ulangan.

Alika jadi sebentar-sebentar melirik jam tangan di lengan kirinya. Ia seplah-olah takut dengan waktu pulang sekolah. Sejujurnya, Alika memang takut, ia tidak tahu apa-apa tapi tiba-tiba Hans menghampirinya dengan aura dingin dan cuek. Tidak seperti Hans biasanya. Tiba-tiba suara bel tanda waktunya pulang mengagetkannya.

•••

Nino yang sedari tadi memperhatikan gelagat Alika ikut khawatir karena tak biasanya Alika terus-menerus melirik jam tangannya. Apalagi beberapa kali Alika ditegur guru karena melamun. Nino hanya khawatir pada sahabatnya itu. Tidak lebih.

"Alika, jadi pulang bareng Nino?" tanya Nino menghampiri Alika yang masih membereskan tas.

"Oh, iya jadi kok Nino. Nino bisa tungguin dulu nggak? Alika ada urusan sebentar," pinta Alika.
"Okeedeh Alika. Nino tungguin di kantin aja ya, nanti kalau Alika udah selesai, langsung ke kantin ya," jawab Nino lalu keluar kelas. Nino masih khawatir dengan perubahan sikap Alika, apalagi setelah Nino melihat Hans menghampiri Alika. Tepat setelah itulah ekspresi dan sikap Alika berubah menjadi murung.

Karena tidak yakin dan takut ada apa-apa. Nino akhirnya tidak jadi turun ke kantin. Dan tepat setelah Nino di luar kelas, Hans masuk ke kelas. Nino memutuskan untuk memata-matai Alika dan Hans. Hanya untuk memastikan Alika baik-baik saja. Nino punya firasat buruk untuk ini. Akhirnya Nino memilih untuk menguping dari balik toilet.

Sekitar 10 menit Nino menguping dari balik toilet, begitu ia mendengar langkah kaki mendekat, buru-buru Nino keluar dan lari ke kantin sebelum ketahuan.

•••

"Ka, ngomongnya di luar kelas aja," ajak Hans sambil mengamit lengan Alika.
"Oh, oke." Alika lalu mengambil tasnya dan mengikuti langkah Hans.
"Gua nggak suka sama lu, Ka. Jadi tolong berhenti buat suka sama gua," ucap Hans tiba-tiba, bahkan dengan posisi memunggungi Alika. Alika sontak kaget dengan apa yang Hans katakan. Bagaimana Hans bisa berkata demikian. Selama ini, yang tahu kalau Alika suka pada Hans hanya Sella dan Nino.
"Mak maksudnya Hans??" tanya Alika sangat bingung.
"Lu kira gua nggak tau, Ka?"
"Tapi aku aja nggak pernah nembak kamu, Hans? Kenapa kamu udah nolak aku?" tanya Alika semakin bingung. Apa saja yang Hans tahu?
"Nih," ucap Hans singkat sambil menyerahkan sepucuk surat beramplop pink.

Mata Alika seketika membulat melihat nama pengirimnya. Sella. Apa ini? Surat cinta? Alika segera membuka dan membaca isinya. Semakin banyak yang ia baca, rasanya ada yang merenas jantungnya sampai rasanya jantungnya akan pecah. Seperti ada yang menekan dadanya dan rasanya sangat sesak.

Tertulis sangat jelas kalau Sella menyukai Hans. Tapi yang membuat Alika semakin tercengang adalah tertulis kalau Sella mengkambing hitamkan Alika sebagai alasan Sella ragu menyukai Hans. Seolah Alikalah penghalang kedekatan antara Sella dan Hans. Bahkan di surat, Sella meminta Hans untuk memilih antara Sella atau Alika.

"Udah baca semuanya?" tanya Hans yang kini sudah menghadap ke arahnya. Alika mengangguk pelan lalu mengembalikan surat itu.
"Gua nggak suka sama kalian berdua, jadi please nggak usah bersaing dan berhenti buat suka sama gua. Gua nggak bakal memilih siapapun di antara kalian berdua. Maaf kalau gua kasar, Ka. Tapi ini keputusan gua," ujar Hans sambil berlalu dari hadapan Alika. Alika membalikkan tubuhnya, menatap Hans yang semakin menjauh.

Alika masih kaget dengan semua yang baru ia ketahui. Dengan cepat Alika berjalan turun. Pasti Nino sudah lama menunggunya. Saat Alika berjalan ke kantin, tampak surat pink yang sebelumnya ia baca, kini sudah berada di tong sampah. Berbaur dengan sampah-sampah lainnya. Tak dapat ditahan, air matanya jatuh. Alika cepat-cepat menghapusnya.

Begitu melihat Nino yang duduk di kursi kantin, Alika langsung menariknya. Ia tidak mau semakin banyak orang melihatnya seperti ini.
"Alika nggak apa-apa?" tanya Nino. Alika hanya mampu menganggukan kepalanya. Jika ia mengucapkan meskipun hanya sepatah kata, ia takut air matanya akan semakin banyak yang jatuh.

•••

Nino paham dengan respon Alika. Cepat-cepat Nino menyalakan motor, menunggu Alika duduk di belakangnya. Dan memacu motornya keluar sekolah. Sepanjang perjalanan, Alika diam saja. Nino hanya bisa menghela napas, betul kata firasatnya. Ini memang hal yang buruk. Nino rasaya sangat geram dan ingin marah pada Sella. Tega- teganya Sella mengingkari janjinya, bahkan mengkhianati Alika.

Nino mendengar semuanya, semuanya tanpa terkecuali. Nino tidak langsung mengantar Alika pulang. Nino malah membelokkan motornya ke minimarket dekat sekolah. Alika tidak memprotes sama sekali.
"Ka, turun dulu ya, Nino mau beli makanan," ujar Nino lalu melepas helmnya dan helm Alika, dan menarik Alika ikut masuk ke minimarket. Setelah membayar belanjaan di kasir, Nino mengajak Alika naik ke atas karena di atas ada banyak kursi untuk duduk. Semacam kafetaria. Alika hanya menurut.

"Ka, ini makan dulu," pinta Nino sambil memberikan es krim yang baru saja ia beli. Katanya, es krim bisa memperbaiki mood seseorang. "Alika boleh cerita sama Nino," ucap Nino lagi sambil menunggu Alika bercerita. Tak lama, Nino melihat air mata Alika menetes.

"Hans jahatt, Sella juga jahat! Harusnya dari awal Alika percaya sama Nino," ujar Alika di sela-sela tangisnya. Nino bisa mengerti perasaan Alika. Bahkan Nino rasanya ingin memberikan bogem mentah pada Hans dan Sella.

"Udah ya, Alika. Nggak apa-apa, semuanya udah terjadi. Alika move on ya, jangan terus bertahan sama Hans yang udah nyakitin lu. Bisa kan, Ka? Nggak apa-apa kalau lu masih mau nangis. Gua tungguin. Tapi jangan nangis lama-lama cuma karena Hans. Lu pasti dapet seseorang yang lebih baik dari Hans, suaru saat nanti," ucap Nino berusaha menghibur Alika setelah Alika menceritakan semuanya. Bahkan es krim di tangan Nino sudah habis karena memang cukup lama Nino menunggu Alika tenang dan bisa bercerita.

"Ka, mau pulang nggak?" tanya Nino setelah hampir 2 jam mereka di minimarket. Air mata Alika sudah mengering.
"Iya, ayo kita pulang aja," jawab Alika sambil tersenyum. Meski senyum Alika bukanlah senyum tulus, semacam senyum yang agak dipaksakan. Nino mengerti jika Alika masih murung. Tapi dalam hati Nino berjanji akan membuat Alika semangat dan ceria seperti dulu.

"Ka, jangan sedih lagi kayak gini ya," ucap Nino pelan saat Alika sudah sampai di rumahnya. Nino menghela napas pelan, memakai helmnya, dan memacu motornya lagi.

•••
Hans berjalan santai ke kelasnya. Seminggu sejak Hans bicara empat mata dengan Alika, Alika sudah tidak mendekatinya lagi, sesuai permintaannya. Tapi Sella satu ini, masih saja gencar mendekatinya. Apa sih sebenarnya maksud Sella? Mengganggu saja, pikir Hans lalu menaruh tasnya di kursi.

Sejujurnya ada sebersit perasaan bersalah pada Alika. Ia gadis yang baik, hanya saja Hans tidak mau cari ribut. Daripada kedua sahabat itu bermusuhan karena dirinya memilih salah satu, lebih baik ia tidak memilih siapapun di antara keduanya.

Namun, sepertinya alasan di balik keputusan Hans tidak berpengaruh pada persahabatan kedua orang itu. Buktinya saja, sebelum Hans tiba di kelas. Ia melihat Alika tampak memalingkan wajah dan berjalan menjauh saat Sella berada di dekatnya. Begitupun Sella. Ia tampak acuh tak acuh pada Alika. Mungkin, tak ada bedanya mau aku memilih salah satu atau tidak memilih sama sekali. Mereka akan tetap bermusuhan setelah mengetahui semuanya, batin Hans lalu masuk ke kelasnya.

-Fin-
.
.
.
.
.

Halo, ini mimin.. Mimin minta maaaaffff banget karena lama banget baru update part terakhir dari cerita ini. Maaf banget ya sekali lagi. Akhir-akhir ini mimin sibuk dan sering tepar. Jadi agak susah nemu waktu buat nulis apalagi ga setiap saat banjir ide.
Maaf juga kalau readers kecewa sama akhir ceritanya atau kecewa aja gitu :'( karena ga sesuai harapan.

Mimin bakal usahain supaya bisa update short love story, A.M. Diary & Kania side tepat waktu yaa..
Thank youu :) & sorry :')

Laf, Mimin.
*lopek*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar