Sabtu, 19 Agustus 2017

First Love

Milla hanya memandang satu persatu wajah teman-temannya. Ia bosan. Tentu saja, bagaimana ia tidak bosan. Sedari tadi, teman-teman Milla hanya membicarakan hal seputar cowok. Vicky baru saja dibuat baper oleh sang gebetan, Naomi masih saja belum bisa move on dari pacarnya (padahal sudah setahun setelah mereka putus), Nindy yang sedang berbunga-bunga karena ia di-pdkt-in oleh cowok paling kece di sekolah.

Milla merasa aneh, apa itu yang namanya suka? Sayang? Cinta? Atau bagaimana rasanya perut dipenuhi kupu-kupu yang terbang? Apa itu rasa nyaman denga lawan jenis? Yaa, Milla sudah kebal dikatai "telat puber", " tidak punya hati", atau apapun itu oleh teman-temannya. Milla bukanlah tipe cewek yang kuper, tentu saja bukan. Bahkan geng mereka ini adalah salah satu geng paling populer di sekolah. Bahkan hampir semua cewek di sekolahnya ingin bisa bergabung dengan geng paling gorgeous sesekolah. Sayangnya, harapan para cewek malang itu harus pupus karena "Pearl Delacour" tidak pernah open member. Ya, itulah nama geng Milla.

Berisikan semua cewek paling cantik, paling pintar, paling kaya di sekolah. Geng yang sempurna. Vicky, dancer andalan sekolah, wajah cantik, juga pintar menyanyi, dijuluki "Ratu Tega", tentu saja karena Vicky akan langsung menolak mentah-mentah cowok yang tidak ia sukai. Naomi, cewek blasteran Indo-Jepang, paling cute di antara mereka berempat, mewakili sampai tingkat provinsi dalam Olmimpade Kimia, tapi Naomi lebih low profile dibanding Vicky yang dari wajahnya pun sudah terlihat high class. Nindy, dialah yang paling lugu dibanding yang lain. Tidak pernah terlambat ke sekolah, nilai selalu di atas 80, putri dari perusahaan tekstil terkenal di Bandung (translate : tidak pernah kekurangan uang).

Terakhir, tentu saja Milla. Bisa dibilang, Milla-lah ratu dari " Pearl Delacour". Paling cantik, selalu meraih juara umum, jago basket, tinggi semampai, aktif di OSIS. Dan satu hal yang selalu membuat cewek lain iri pada Milla, Milla langsing, tak peduli berapa banyak ia makan. Terakhir, julukan yang sama sekali tidak ia sukai, "cicans jutek". Ia tidak pernah bermaksud jutek, Milla hanya menyapa orang yang ia anggap teman, mem-follback si medsos bila orang itu memintanya, tersenyum pada orang yang lebih dulu tersenyum padanya. Milla hanya, tidak suka memulai duluan. Mungkin itulah alasannya.

Sudah banyak cowok yang mendekatinya, tentu saja Milla tidak setega Vicky untuk menolak mentah-mentah. Milla hanya membalas seperti biasa ia membalas chat dari cowok, menerima pemberian para cowok karena tidak enak hati bila menolak. Aku hanya memperlakukan mereka dengan sebaik yang kubisa karena itulah yang seharusnya kulakukan, begitulah jawab Milla setiap kali teman-temannya bertanya soal ia yang sering dianggap "tukang PHP".

Sejujurnya, di lubuk hati Milla, ia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Bagaimana bisa ia tidak luluh meski tak peduli bagaimana seorang cowok perhatian padanya, berperilaku gentle, memberinya ini itu, mengucapkan kata-kata manis, dan semua hal yang cowok lakukan (hanya) pada saat pedekate alias pendekatan.

Ya, bagi Milla, semua hal manis hanya terjadi pada saat pdkt. Ia belajar dari teman-temannya yang sering dicuekkin seorang cowok yang awalnya begitu perhatian, setelah jadian langsung cuek bebek.

Masih di tempat yang sama. Kantin sekolah. Milla masih menatap bosan teman-temannya yang sekarang asik membicarakan anak paskibra yang terkenal gantengnya selangit. Milla mencoba menoleh ke arah lapangan, tempat para anak paskibra latihan.

Matanya mulai meneliti satu persatu anak paskibra yang sedang berlatih untuk upacara minggu depan. Mencari sosok cowok bernama Dimas yang katanya gantengnya lebih ganteng dari Zayn Malik. Tak disangka, teman-temannya memergoki Milla yang sedang menatap lurus ke arah lapangan basket.

"Wah, kayaknya Milla penasaran nih sama yang namanya Dimas, ehem ehem," goda Vicky dengan wajah menyebalkan.
"Milla akhirnya bisa penasaran sama cowok boo," Naomi ikut menimpali. Milla makin terbengong ketika tiba-tiba Nindy yang biasanya tidak terlalu bawel kini ikutan menggodanya.

"Aduh Milla, gausah serius banget gitu dong nyari Dimasnya. Dia tuh, ituh Mill," kata Nindy sambil menunjuk-nunjuk heboh ke arah ujung lapangan. "Itu Dimas, Mill. Yang sekarang lagi ngobrol sama pelatih paskibra," lanjut Nindy saat Milla mengikuti arah telunjuk Nindy.

"Sini, gue tarik Milla sekalian, biar ketemu," Vicky langsung berdiri dari kursi dan dengan heboh menarik-narik Milla ke lapangan. Sebagai dancer, tentu tenaga Vicky kuat, Milla harus berusaha sekuat tenaga agar tidak tertarik oleh tarikan Vicky yang semakin lama semakin anarkis. Apalagi sekarang Naomi dan Nindy ikut menariknya. Mau tidak mau, kantin yang tadinya adem ayem, sekarang berisik dan hampir semua mata penghuni kantin tertuju ke arah mereka.

Milla haya bisa menahan malu akibat aksi teman-temannya yang tidak pernah jaga image. Memang image mereka tidak pernah jelek sih. Mau tidak mau, anak paskibra yang tadinya sibuk sendiri, jadi ikut memperhatikan mereka berempat. Saat Milla membuka mata, ia kaget setengah hidup karena menemukan Dimas sedang menatapnya dengan tatapan yang tak terdefinisikan.

Habislah imageku, batin Milla. Tapi sesaat kemudian, tatapan Dimas kembali berpaling ke arah pelatihnya. Tanpa ia sadari, Milla merasa sedikit kecewa. Tidak tahu kenapa.

•••

Milla jadi sering nervous bila terpergok Dimas kalau ia sedang melihat Dimas. Mungkinkah ini yang namanya suka? Milla sendiri belum bisa menjawabnya. Ia suka melihat wajah Dimas yang tegas, hidungnya yang mancung, bibir tipisnya yang selalu tersenyum pada siapa saja, rahangnya yang memberi kesan maskulin. Milla suka melihat Dimas latihan paskibra, ia suka melihat Dimas berteriak lantang karena posisi Dimas sebagai pemimpin upacara. Sepertinya, apapun yang Dimas lakukan, selalu menarik di mata Milla.

Dan tentu saja, teman-teman Milla menyadari perubahan Milla. Mereka kan cewek paling peka sedunia. Daripada menggunakan cara heboh seperti kemarin yang mengundang perhatian dan sedikit merusak image. Kali ini, mereka bertiga menyusun rencana agar Milla bisa sering bertemu dengan Dimas.

Salah satunya hari ini. Vicky, Naomi, dan Nindy bersepakat untuk meninggalkan Milla di sekolah, sementara mereka bertiga pergi mengintai di tempat tersembunyi. Tentu Milla akan bingung bagaimana ia akan pulang, supirnya hari ini sakit dan orang tuanya sibuk berat. Rencana bagus. Hari inilah eksekusinya.

Mereka berempat kini menempati tempat favorit mereka si kantin. Vicky mulai memberi kode agar satu-persatu, mereka menyingkir dari TKP.

"Ehh, Mill, gue mau caw ke toilet bentar ya. Noni.. Heh, Naomi temenin gue ke toilet bentaran dong," pamit Vicky sambil menyeret Naomi. Awalnya mereka berjalan biasa, saat cukup jauh dari pandangan Milla, mereka berdua langsung ngacir ke lokasi pengintaian. Sambil menunggu timing yang tepat, dan menunggu Nindy menyusul mereka.

"Eh, Mill, gue laper nih, gue jajan bentar ya ke kantin, nggak lama kok," pamit Nindy sambil meraih tasnya dan ngacir ke kantin. Milla hanya menoleh sebentar lalu matanya terfokus lagi pada para anak paskibra. Nindy langsung ikut ngacir ke tempat pengintaian.

"Lama banget sih lu ah," protes Vicky saat Nindy sampai di lokasi pengintaian.
"Ya maap, gue nunggu timing yang pas buat caw," balas Nindy lalu langsung jongkok. Bersembunyi. Naomi hanya menatap jam tangan mahalnya. Harusnya, 5 menit lagi. Mereka hanya harus menunggu sebentar lagi.

Latihan paskibra mulai bubar. Milla baru sadar teman-temannya ga ada yang balik. "Duh, gue balik gimana?" gumam Milla sambil menyusuri lorong sekolah. Mencari tiga sekongkol yang tidak balik-balik. "Jahat sekali mereka, ninggalin nggak bilang-bilang," protes Milla dalam hati.

Milla akhirnya menyerah mencari teman-temannya dan berusaha menelpon mereka sambil duduk di dekat parkiran. "Please salah satu angkat teleponnyaaa, gue pulang sama siapa," gumam Milla dengan HP yang terus menempel di telinganya.

"Kenapa belom balik?" tiba-tiba suara ala cowok kece terdengar di telinganya. Milla menoleh ke kanan untuk melihat si pemilik suara. Deg! Itu Dimas. Itu Dimas boooo!!! Detak jantung Milla tiba-tiba tidak karuan. Rasanya jantungnya akan segera meloncat keluar.

"Oh, ehm.. Belom, ini temen-temen gw ninggalin, mereka ilang gatau kemana," jawab Milla gugup. Ia hanya berdoa agar tampangnya tidak malu-maluin.

"Mau bareng gw ga? Mumpung belakang kosong, rumah lu di mana?" tanya Dimas sambil melepaskan helmnya. Oh my God, cowok cakep depan aku, Tuhan, jarang-jarang, pikiran itu yang terus melintas di kepala Milla.

"Ngerepotin ga nih? Gw gasuka ngerepotin orag," jawab Milla, biar terkesan jaga image gitu.

"Nggak kok, santei aja, buru naik," jawab Dimas sambil menyalakan motor KLX-nya.
"Btw, gw ga bawa helm nih."
"Ah, iyayah. Gue pinjem dulu deh bentaran, lu tunggu sini ya," jawab Dimas santai lalu meninggalkan motornya yang masih nyala. Tak sampai 5 menit, Dimas sudah kembali dengan helm di tangannya.

"Nih," ucap Dimas dan menyerahkan helm pada Milla. Milla baru tersadar, motornya tinggi banget. Sekalipun Milla tergolong tinggi, tetap saja motor ini susah dinaikin, apalagi dengan rok SMA.
"Dim, motor lu tinggi banget," ucap Milla tanpa sadar.
"Ya, mau gimana. Masa gw pake matic, ketekuk dong kakinya," jawab Dimas santai sambil tertawa.

Oh Tuhan, oh Tuhan. Ketawanya cowok ganteng emang beda ya Tuhan, batin Milla sambil semyum-senyum sendiri. Dimas tanpa bertanya dulu, langsung ngegas motornya dan membuat Milla tersentak kaget, dan spontan memeluk Dimas dari belakang.

"Eh, sorry Dim. Ga maksud, eh spontan."
"Yoo kalem aja," jawab Dimas dengan mata yang terfokus ke jalanan. Setelah itu, Milla hanya terdiam. Dia tengsin abis. Milla hanya bicara untuk menunjukkan jalan ke rumahnya. Anehnya, Dimas seperti sudah hapal jalan ke rumah Milla.

"Eh, Mill. Lu kenal Melita anak kelas 11 nggak?" tanya Dimas tiba-tiba.
"Eh, kenal kok. Dia kan adik gue," jawab Milla bingung.
"Ooh, bagus deh. Lu bisa bantuin gw buat pdkt sama dede lu ga?" tanya Dimas sekali lagi dengan tatapan masih fokus ke jalanan.
Deg.
Jadi.. Beginikah rasanya jatuh cinta? Mengapa justru sakit yang kurasakan?

"Mill, ngantuk Mill?" tanya Dimas yang kali ini menoleh ke belakang.
"Ohh, nggak kok Dim. Bisa kok bisa, itu mah urusan gampang. Asal PJ*-nya banyak ya, hahaha," jawab Milla sambil berusaha tersenyum.

"Gampang itu mah, makasih ya Mill," jawab Dimas dengan senyum yanh mengembang. Milla bisa melihat dan merasakan arti senyum itu meskipun hanya dari kaca spion.

Yah, setidaknya. Aku pernah merasakan jatuh cinta. Meski sakit, karena cintaku tidak ditangkap :)
.
.
.
.
*PJ : pajak jadian.

made by : admin.
✖ no copas tanpa nyertain sumber ✖

2 komentar: